Selasa, 06 Agustus 2013

Aryanto, R. (2005). Valuasi Ekonomi dengan Travel Cost Method pada Obyek Wisata Pesisir. Jurnal Ilmiah Pariwisata. Vol. 10, No. 1, p. 58 - 76



Jurnal Ilmiah PARIWISATA
March 2005, Vol. 10, No. 1, p. 58 - 76

 Valuasi Ekonomi dengan Travel Cost Method pada Obyek Ekowisata Pesisir
(Kasus kawasan Ujung Genteng, Sukabumi)

Rudy Aryanto
Bina Nusantara University

ABSTRACT

The phenomenal growth of global tourism has immediate and far reaching consequences for the natural and cultural heritage, as it directly links tourism activities with low impact use of the natural resources, environmental conservation and sustainable economic activities. One among many terms given to this form of tourism is ecotourism sectors.  The rapidly growing ecotourism movement for coastal zone of tourism attraction, in this case just like the ecotourism in the Ujung Genteng, West Java area natural green sea turtle conservation, coral reef and sandy coastal scenery, fishing community, and others various natural potentials, can be beneficial to attract domestic tourists as well as international tourists. The travel cost method can use to estimate economic use values associated with ecosystems or sites that are used for recreation such Ujung Genteng Area. The method can be used to estimate the economic benefits or costs resulting from:  1) changes in access costs for a recreational site, 2) elimination of an existing recreational site, 3) addition of a new recreational site, and 4) changes in environmental quality at a recreational site. The basic premise of the travel cost method is that the time and travel cost expenses that people incur to visit a site represent the “price” of access to the site.  Thus, peoples’ willingness to pay to visit the site can be estimated based on the number of trips that they make at different travel costs.  This is analogous to estimating peoples’ willingness to pay for a marketed good based on the quantity demanded at different prices. This section continues with example applications of the travel cost method to analyze the ecotourism in the Ujung Genteng area, followed by a more complete technical description of the method and its advantages and limitations.

Keywords:  ecotourism, conservation, economic benefit, travel cost method



I.  PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dalam menyusun perencanaan dan pengelolaan pembangunan untuk masa depan diperlukan adanya suatu pergeseran paradigma dari strategi import substitution industry menjadi resource based industry. Perubahan paradigma ini perlu disertai instrumen kebijakan untuk dapat melakukan dorongan besar bagi pertumbuhan ekonomi berupa pilihan strategi pembangunan dan industrialisasi berbasis sumberdaya alam, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir melalui sector ekowisata. Salah satu contoh yang dapat dikembangkan adalah kawasan ekowisata pesisir kawasan Ujung Genteng, Sukabumi.

Perkembangan Pariwisata Baru menuju Ekowisata Pesisir dan Bahari
Pariwisata merupakan industri dengan pertumbuhan tercepat didunia (WTO, 2000), dalam resolusinya PBB pun telah menyatakan bahwa pariwisata as a basic and desirable human activity deserving the praise and encouragement of all peoples and governments. khusus bagi wisata bahari secara global di tahun 1993 mampu menghasilkan devisa lebih dari US$ 3.5 triliun atau sekitar 6 – 7% dari total pendapatan kotor dunia (WTTC, 1993).  Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 81.000 km, memiliki potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang sangat besar (Bengen, 2001). sektor ini meningkatkan kontribusi bidang kawasan dan wisata secara signifikan dari Rp. 3 triliun di tahun 1990 menjadi Rp. 33 triliun di tahun 1999, kontunuitas pengembangan ini tentunya berimplikasi pada bidang usaha wisata lainnya, yaitu perhotelan, jasa rekreasi, biro perjalanan, dan restoran yang terletak di kawasan wisata
Saat ini pariwisata bergerak menuju paradigma baru, yaitu merubah paradigma lama yang lebih mengutamakan pariwisata masal (wisatawan yang besar/berkelompok dan paket wisata yang seragam) (Faulkner B., 1997), menjadi wisatawan yang lebih canggih, berpengalaman dan mandiri, yang bertujuan tunggal mencari liburan fleksibel, keragaman dan minat khusus pada lingkungan alam dan pengalaman asli (Baldwin dan Brodess, 1993) yang oleh Eadington dan Smith (1995) diartikan sebagai konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial dan masyarakat yang memungkinkan adanya interaksi positif diantara para pelakunya. Konsep ini sejalan dengan Ekowisata (eco-tourism) yang lebih menekankan pada faktor daerah alami (Lascurain dan Ceballos, 1988) dan telah dikembangkan sejak 1980 (Orams, 1995), sebagai suatu perjalanan bertanggungjawab ke lingkungan alami yang mendukung konservasi dan meningkatkan kesejateraan penduduk setempat (The Ecotourism Society, 1993). Dan diperkuat oleh Ziffer (1989) menekankan pada sektor sejarah dan budaya, Whelan (1991) pada faktor etnis, Boo (1992) pada faktor pendidikan lingkungan, Steele (1993) tentang proses ekonomi, Cater and Lowman (1994) tentang pemanfaatan bertanggung jawab dan imbuhan kata ‘eco’(seperti ecotour, ecotravel, ecosafari, ecovacation, ecocruise, dll), Hudman et.al. (1989) pada faktor budaya, Lindberg (1991) pada faktor pelestarian, Gunn (1994) pada faktor petualangan, Brandon (1996) pada faktor pengetahuan dan konservasi, Kususdianto (1996) memberikan batasan ruang lingkup usaha ekowisata, dan Silver C. (1997) yang memberikan batasan-batasan berikut: (1) Menginginkan pengalaman asli, (2) Layak dijalani secara pribadi maupun sosial, (3) Tak ada rencana perjalanan yang ketat, (4) Tantangan fisik dan mental, (5) Interaksi dengan budaya dan penduduk setempat, (6) Toleran pada ketidaknyamanan, (7) Bersikap aktif dan terlibat, (8) Lebih suka petualangan daripada pengalaman, sedangkan Choy, Low dan Heilbron (1996) memberikan batasan lima faktor pokok yang mendasar yaitu: Lingkungan, Masyarakat, Pendidikan dan Pengalaman, Keberlanjutan, Manajemen, dan Ecoturism Research Group (1996), yang membatasi tentang wisata bertumpu pada lingkungan alam dan budaya yang terkait dengan : (1) Mendidik tentang fungsi dan manfaat lingkungan, (2) Meningkatkan kesadaran lingkungan, (3) Bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi, (3) Menyumbang langsung pada keberkelanjutan. Ekowisata tidak setara dengan wisata alam.  Tidak semua wisata alam akan dapat memberikan sumbangan positif kepada upaya pelestarian dan berwawasan lingkungan, jenis pariwisata tersebut yang memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu yang menjadi ekowisata dan memiliki pasar khusus, demikian menurut pendapat dari Wheat (1994) dan Goodwin H. (1997) dan diperkuat oleh Wyasa P. (2001).  Low Choy dan Heillbronn (1996), merumuskan lima faktor  batasan yang mendasar  dalam penentuan prinsip utama  ekowisata, yaitu :
1.      Lingkungan; ekowisata bertumpu pada lingkungan alam, budaya alami
2.      Masyarakat; ekowisata bermanfaat ekologi, social dan ekonomi pada masyarakat.
3.      Pendidikan dan Pengalaman;  Ekotourism  harus dapat meningkatkan  pemahaman  akan lingkungan alam dan budaya  dengan adanya pengalaman yang dimiliki
4.      Berkelanjutan; Ekotourism memberikan  sumbangan positip  bagi keberlanjutan  ekologi lingkungan baik jangka pendek maupun jangka panjang.
5.      Manajemen; ekotourism harus dikelola secara baik dan menjamin sustainability.
            Wisata pesisir dan bahari merupakan jenis kegiatan pariwisata yang berlandaskan pada daya tarik kelautan, memiliki spektrum industri yang sangat luas dan bisnis yang melibatkan berbagai industri yang sangat beragam. Konsep wisata pesisir dan bahari di dasarkan pada view, keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karaktersitik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Wheat (1994) dan Steele (1993) berpendapat wisata pesisir dan bahari adalah proses ekonomi  yang memasarkan ekosistem dan merupakan pasar khusus yang menarik dan langka untuk orang yang sadar akan lingkungan dan tertarik untuk mengamati alam.  Maka, sangat beralasan bagi Indonesia bila hampir di semua daerahnya akan berupaya mengembangkan wisata pesisir dan bahari ini.  Menurut riset dari Soeriaatmadja (1997) ada lima hal yang melandasinya: (1) Seluruh daerah di Indonesia kecuali Kalimantan Tengah memiliki daerah pantai pulau tropika, (2) Aksesibilitas, ekosistem pesisir dan bahari selalu berada di garis depan atau pintu masuk ke ekosistem darat, (3) Memenuhi karakter 3S (sun, sand, sea), (4) Disusun Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Nasional (RIPPNAS), (5) Variasi daya tarik wisata dan laju pertumbuhan wisata.
Cakupan kegiatan ekowisata pesisir dan bahari ini sesungguhnya memiliki spektrum industri yang sangat luas dan bisnis yang ditawarkannya sangat beragam, selain akomodasi dan resor, serta beberapa komponen pariwisata lain misalnya jasa penyedia transportasi, kapal pesiar, pengelola taman laut, restoran terapung, rekreasi pantai, konvensi di pantai dan di laut, pemandu wisata alam, dan sebagainya. Tentunya industri-industri pendukung/sub komponen juga akan terbuka lebar antara lain jasa foto dan video, pakaian dan peralatan olah raga, jasa resque, kerajinan dan cindera mata, dll.

Dampak dari Pengembangan Pariwisata
Tidak hanya dampak positif, kegiatan ekowisata dapat berpotensi memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, baik terhadap lingkungan obyek ekowisata maupun terhadap lingkungan sosial budaya setempat (Supriana N. 1997). Lingkungan didefinisikan dahulu sebagai sesuatu yang terdiri dari tiga komponen, yaitu lingkungan alam, binaan dan budaya yang saling terkait dan akan ada pengaruh lintas komponen yang dikaitkan dengan pembangunan pariwisata. Konsep holistik mengenai lingkungan ini perlu untuk menyadari seluruh jelajah dampak potensial yang dapat ditimbulkan dari proyek atau pembangunan. (OECD, 1981). Gree dan Hunter (1993) meneliti tentang dampak negatif pada lingkungan budaya yang dibagi dalam 6 komponen lingkungan yang akan rusak/berubah, yaitu : (1) nilai dan kepercayaan, (2) moral, (3) perilaku, (4) seni dan kerajinan, (5) hukum dan ketertiban, dan (6) sejarah. Hartanto (1997), menambahkan daftar dampak negatif lainnya yang akan terjadi pada Lingkungan Binaan dan Lingkungan Alam, yaitu pada: (1) flora dan fauna, (2) polusi, (3) erosi, (4) sumber daya alam, (5) pemandangan.
Khususnya bagi daerah wisata pesisir menurut Clark (1996) berbagai permasalahan yang umumnya ditemukan di wilayah pesisir dan bahari saat ini adalah : 1). Penurunan sumberdaya alamiah, 2). Polusi,  3). Konflik penggunanaan lahan, 4). Pengrusakan kehidupan dan kepemilikan akibat bencana alam.

Sustainabke Tourism
Dengan demikian perencanaan yang disusun haruslah disesuaikan dengan konsep Sustainable & Responsible Tourism. Seperti diketahui bahwa konsep pembangunan berkelanjutan oleh WCED-PBB (1987) batasannya adalah sebagai pembangunan yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan generasi sekarang tanpa mempertaruhkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Tujuannya adalah memadukan pembangunan dengan lingkungan sejak awal proses penyusunan kebijaksanaan dan pengambilan keputusan yang strategik sampai kepada penerapannya di lapangan. Kemudian pemikiran lebih lanjut memasukan faktor etika dan equity yang melibatkan responsibility pada lingkungan sebagai tindakan manusia yang merupakan aktor (individu, kelompok, organisasi, dll) (Butler 1998).
Konsep manajemen strategi yang dapat diterapkan pada industri pariwisata ini, dengan skema yang digunakan adalah seperti yang dikemukakan oleh Tribe J. (1997) meliputi : (1) misi, (2) analisa strategi, (3) penetapan strategi, dan (4) implementasi strategi. Pada sistem pengelolaan ekowisata pesisir, perlu dicermati pembatasan tentang pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (sustainable), maka Albertson (1999) dalam risetnya menyebutkan dimensi-dimensi:
²  Environmental Sustainability (Cater and Lowman 1994, Bottrill and Pearce 1995)
²  Economical Sustainability (Wanhill 1997)
²  Socio-Cultural Sustainability (Pearce 1989, Nijkamp et.al. 1995, Milne 1998)
²  Political Sustainability (Mowforth and Munth 1998)
Pendapat serupa dikemukakan oleh Dahuri et.al. (2001) tentang garis besar konsep pembangunan berkelanjutan yang memiliki empat dimensi, yaitu ekologis, sosial ekonomi budaya, sosial politik, serta hukum dan kelembagaan. Maka dalam hal ini, telah terjadi kesamaan/kesepakatan tentang variabel-variabel yang digunakan untuk menganalisa manajemen wilayah pesisir dan bahari.

Tujuan Studi
Tujuan dari studi ini adalah untuk mempelajari fenomena yang berkaitan dengan berbagai profil dan aktifitas wisata di kawasan Ujung Genteng, Kabupaten Sukabumi, dengan harapan hasilnya dapat dijadikan masukan dan arah bagi pengembangan kawasan wisata Ujung Genteng, dan untuk menemukan indikasi-indikasi program kegiatan yang mungking bisa dikembangkan, serta rekomendasi mengenai langkah strategis dalam upaya pengembangan kawasan wisata Ujung Genteng baik dari segi pemanfaatan potensi industri pariwisata maupun aspek keberlanjutan ekologisnya secara lebih terpadu.
Untuk mengelola sumber daya alam Kawasan Ekowisata Ujung Genteng yang dapat ditinjau sebagai barang publik, yang mempunyai berbagai daya tarik (attractions) alami. Maka perlu dilakukan dengan terencana karena pengembangan kawasan rekreasi dapat memicu tumbuhnya dampak positif dan negatif, baik terhadap ekonomi dan sosial budaya maupun kelestarian sumberdaya. Hufsshmidt (1987) menyatakan bahwa semua manfaat yang diperoleh dari barang dan jasa lingkungan dapat dimasukan dalam analisis biaya-manfaat karena kerusakan yang ditimbulkan oleh kegiatan ekonomi adalah biaya daripada aktifitas itu sendiri.
Pada bagian utama studi ini pembahasan diutamakan kepada salah satu faktor utama yang sangat berpengaruh pada pengembangan ekowisata pesisir, yaitu pembahasan tentang pengelolaan sumberdaya alam yang tepat bagi ekowisata pesisir dengan mempertimbangkan valuasi ekonomi sebagai dasar perhitungannya, khususnya pada kasus obyek pariwisata kawasan Ujung Genteng, Kabupaten Sukabumi.
Dengan menggunakan Metode Travel Cost diharapkan dari studi ini dapat diketahui keinginan individu untuk membayar bagi kepentingan lingkungan, pelestarian dan perbaikan saja, dan kompensasi dari kerugian. Kemudian perhitungan moneter ini dapat menjadi pendukung kualitas lingkungan. Dan selanjutnya dapat membandingkan dalam berbagai alternatif lainnya terutama dalam pemanfaatan dana.


III.  GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI (Kawasan Ujung Genteng)

Sebagai contoh Studi ini dapat diterapkan di kawasan Ujung Genteng yang terletak di bagian selatan Kabupaten Sukabumi, Kecamatan Ciracap dan Kecamatan Waluran, tepatnya saat ini yang telah dikembangkan adalah di desa Gunung Batu dan Desa Pangumbahan.  Lokasi ini merupakan kawasan wisata yang praktis belum ditata, tetapi di lain pihak mempunyai jenis obyek yang cukup menarik dan khas, lokasi ini mempunyai potensi yang cukup baik dikembangkan sebagai usaha kawasan pariwisata.

Profil Wisatawan
Wisatawan Nusantara (Wisnus) yang datang ke kawasan Ujung Genteng umumnya sebagian besar berasal dari daerah dekat kawasan wisata tersebut, yang berasal dari luar terbanyak berasal dari Jakarta dan dari Jawa Barat yang didominasi dari Bogor dan Bandung. Kunjungan semakin meningkat, terutama perjalanan remaja dan keluarga. Wisatawan Mancanegara (Wisman) berasal dari beberapa negara tetangga di benua Asia dan Australia, golongan terbesar Wisman ini adalah berasal dari negara Australia dan Selandia Baru, serta beberapa dari Perancis, Jerman, Brasilia, dan Belanda, hingga ada kecenderungan meningkatnya Wisman dari Asia Timur yaitu Jepang dan Korea.

Penyu Hijau
Penyu yang sedang bertelur merupakan obyek wisata yang paling menarik di kawasan Ujung Genteng, permasalahannya adalah waktu keluarnya penyu dari laut sampai dengan bertelur (di pasir pantai) sampai saat ini tidak dapat dikendalikan oleh manusia terutama pengelola kawasan. Penyu-penyu tersebut hanya mau naik ke pantai apabila pantai dalam keadaan gelap dan sunyi, dan biasanya hal ini terjadi pada sekitar tengah malam.  Kondisi ini membuat pengelola kawasan tempat penyu bertelur sering-sering menghalangi orang/pengunjung akan menganggu penyu yang mau bertelur.  Tampaknya pihak pengelola maupun Pemda sendiri masih belum memberikan ketegasan, apakah penyu di desa Pangumbahan ini siap atau tidak untuk dijadikan obyek wisata.
 Penyu merupakan jenis reptilia yang hidup di perairan laut. Selanjutnya dari 7 (tujuh) jenis penyu di dunia 6 (enam) diantaranya terdapat di Indonesia (Halim dan Dermawan, 1999).  Keenam jenis penyu tersebut adalah : (1) penyu sisik (Eretmochelys imbricata), (2) penyu lekang (Lepidochelys olivacea), (3) penyu belimbing (Dermocelys coriacea), (4) penyu hijau (Chelonia mydas), (5) penyu tempayan (Caretta caretta) dan (6) penyu pipih (Natator depresus).  Dalam pandangan internasional, semua jenis penyu dianggap langka (endengered) dalam Red Data Book-IUCN. Binatang penyu ini memiliki sebaran yang sangat luas. dan bermigrasi hingga ratusan bahkan ribuan kilometer dari tempat berbiaknya. Pantai Pangumbahan Ujung Gentang Jawa Barat (Subagio, 1991) merupakan salah satu tempat peneluran yang paling penting. Menurut Hirth, H.F (1971) sebagian besar kehidupan  penyu dihabiskan di laut untuk mencari makan, beruaya dan kawin. Setelah tiba saatnya bertelur penyu betina akan mencari pantai berpasir untuk bertelur. Halliday et.al. (1986) menyatakan bahwa daerah peneluran penyu ini biasanya tidak jauh dari perairan laut yang menyediakan rumput laut. Rata-rata penyu hijau bertelur sebanyak 106 butir setiap kali mendarat ke pantai (Sub Balai KSDA Jatim II. 1990). Secara alami telur yang ditinggalkan induk penyu dalam gundukan pasir pantai akan menetas. Oleh Nuitja, N.S (1981) dilaporkan bahwa prosentase penetasan telur penyu ± 90 %. Setelah menjadi anakan (tukik) maka secara naluriah akan pergi ke arah laut. Mula-mula sesaat tukik akan berada di perairan laut dekat pantai kemudian berkelana ke laut lepas. Perjalanan tukik di laut tidak diketahui lagi. Para ahli menyebut sebagai "tahun yang hilang" (Carr, A. 1967; Frick. 1976 dalam Carr,A. 1980).
Ancaman terhadap telur penyu adalah pemungutan telur di lokasi peneluran dan pemangsaan predator seperti biawak, babi hutan, macan tutul, elang, ikan besar pada tingkat telur hingga anakan (tukik)  (Triwibowo. 1990). Hanya 1 s/d 3 % anakan yang mampu mencapai tingkat dewasa (Enrenfeld, D.W. 1974). Tingkat kematian anakan penyu menuju dewasa sangat tinggi, diasumsikan hanya sebutir sampai dengan tiga butir telur yang bertahan hidup dari 100 butir yang dihasilkan seekor induk penyu. Sedangkan ancaman yang paling utama adalah penangkapan oleh manusia. Penangkapan baik yang disengaja maupun yang tidak dapat mengancam kelangsungan populasi penyu (Sumardja,E. 1991). Pemerintah Indonesia telah menetapkan perlindungan terhadap populasi penyu melalui : Surat Keputusan Menteri Kehutanan, antara lain: No. 327/Kpts/um/5/1978 untuk penyu belimbing (Dermochelys coriacea); No. 716/Kpts/um/10/1980 untuk penyu lekang (Lepidochelys  olivea) dan penyu tempayan (Caretta caretta) ; No. 882/Kpts-II/1992 untuk penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1999 untuk penyu hijau. Dalam rangka usaha pelestarian penyu pemerintah mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai organisasi internasional seperti World Wildlife Fund for Nature (WWF), Food Agriculture Organization (FAO) dan Japan Bekko Association (JBA).  Secara umum penyu dalam kehidupannya memerlukan berbagai habitat sesuai kebutuhan, yaitu habitat untuk mencari makan (feeding ground), habitat untuk melangsungkan perkawinan (meeting area), habitat untuk beristirahat (resting area) dan habitat untuk bertelur (nesting area).
Obyek wisata penyu hingga saat ini masih belum dirancang untuk dijadikan sebagai obyek wisata.  Bahkan menurut surat dari Gubernur Jawa Barat Nomor 523/4661/Perek, perihal Ijin Pengelolaan Persarangan Penyu di Pangumbahan, ijin ini diberikan kepada CV. Daya Bakti di Sukabumi, dengan demikian pengembangan penyu di Pangumbahan lebih ditekankan untuk fungsi penelitian dan pengembangan teknologi konservasi penyu.

Diving dan Terumbu Karang
Pada dasarnya Indonesia umumnya memiliki kekayaan bahari yang berlimpah, yang mencakup kehidupan sekitar 28 ribu species flora, 350 species fauna, 110 ribu species mikroba, serta sekitar 600 species terumbu karang.  Keanekaragaman terumbu karang di Indonesia mencapai 600 species dari 400 genera, jauh lebih kaya dari yang dikandung Laut Merah yang hanya memiliki 40 species dari 7 genera.  Demikian juga potensi yang dimiliki kawasan Ujung Genteng ini, tentunya termasuk salah satu dari daerah kaya di lautan Indonesia yang diindikasikan adanya ekosistem alami yang memungkinkan penyu untuk bertelur. Terumbu karang (coral reefs) merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar laut daerah tropis dan dibangun oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang dan alge penghasil kapur (CaCO3) dan merupakan ekosistem yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. (Saptarini et. al, 1995; Dawes 1981 dalam  Supriharyono, 2000). Ekosistem ini sangat rentan terhadap perusakan dan pencemaran, demikian juga di Ujung Genteng.

Ekosistem lainnya
Yang terdapat di lokasi adalah : (1) Ekosistem Estuaria = perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas yang tinggi dapat bercampur dengan air tawar (Saptarini et. al, 1995), (2) Ekosistem Mangrove = disebut sebagai hutan bakau, hutan payau atau hutan pasang surut, merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut (Anonim, 1997), (3) Ekosistem Padang Lamun (seagrass beds) = merupakan salah satu ekosistem yang terletak di daerah pesisir atau perairan laut dangkal (Supriharyono, 2000), (4) Ekosistem Rawa Pasang Surut = lahan pantai merupakan bagian dari dataran pantai (coastal plain) yang berupa daerah peralihan dengan perairan laut, yang biasanya disebut pesisir.  Dalam sistem landform dataran pantai mencakup bagian dari grup aluvial, marin, fluvio marin, gambut dan eolin (Marsudi et al., 1994). Lahan rawa di daerah pesisir umumnya berupa lahan rawa pasang surut. (Widjaja Adhi, et al., 1992 dan Nugroho, et al., 1993).

Berbagai Jenis Pariwisata Lainnya
Diantaranya adalah potensi yang besar telah diusahakan di lokasi ini seperti di dalam bidang outward bond, Lintasan Olah Raga dan Sepeda Motor, Memancing (Fishing), Pertanian, Taman Laut, Hutan Wisata, dan tersedianya berbagai jenis Cindera Mata Khas daerah sekitar, selain itu, masih banyak pula potensi pariwisata lainnya yang belum dikembangkan disini, yang mungkin dapat terkemuka apabila telah ada riset yang komprehensif tentang hal tersebut.

Transportasi
Terminal bus terdekat dari Ujung Genteng adalah di Surade.  Dari Surade ini tersedia bus dengan frekuensi yang cukup baik menuju kota Sukabumi yang berjarak tempuh 127 km maupun ke kota Bogor yang berjarak tempuh 170 km, sedangkan dari kota Jakarta menuju Surade akan menempuh perjalanan sejauh 230 km.  Kemudian jarak dari Surade ke desa Gunung Batu kawasan pantai wisata Ujung Genteng adalah 18 km dengan kondisi jalan aspal hotmix dan perintis, sedangkan untuk mencapai desa Pangumbahan kawasan penangkaran penyu berjarak tempuh 6 km dengan kondisi jalan tanah bergelombang yang hanya dapat dilalui pada saat musim kemarau saja oleh kendaraan bermotor khususnya mobil. Walaupun tersedia terbatas (sehari 3 kali).  Dengan kata lain, fasilitas sampai dengan Ujung Genteng dapat dikatakan layak.  Yang masih banyak dipersoalkan oleh pengunjung, terutama pengunjung yang menginap, adalah sarana transport lokalnya yang dipandang kurang.  Kondisi jalan dari pusat penginapan menuju pusat keramaian Ujung Genteng (pelabuhan) serta menuju desa Pangumbahan dan Ombak Tujuh yang masih berbentuk jalan tanah bergelombang tersebut.  Angkutan umum yang tersedia di lokasi adalah jenis ojek yang umumnya mangkal di tempat-tempat penginapan.  Inipun jumlahnya masih relatif terbatas, terutama pada malam hari. Disamping dapat mengurangi mobilitas pengunjung, kondisi transportasi lokal ini (ojek) juga membuat biaya transport lokal relatif tinggi.

Hiburan, Penginapan dan Rumah Makan
Kuranganya fasilitas hiburan di lokasi terutama pada malam hari, belum ada pengusaha yang membuka bisnis hiburan, karena disamping jumlah pengunjungnya masih relatif sedikit kemungkinan juga karena belum lama masuknya aliran listrik, bisnis hiburan yang biasanya akan muncul di pusat-pusat hiburan malam adalah seperti diskotek, karaoke, café dan sebagainya.
Sebagian besar penginapan (Ada sekitar 17 penginapan) di sekitar Ujung Genteng yang biasa dipakai pengunjung umum.  Pada umumnya kualitas relatif sederhana, yaitu berdinding kayu atau bambu, kamar mandi diluar dan tanpa AC.  Namun demikian ada sebagian kecil lainnya yang cukup berkualitas dan dilengkapi AC, TV, kamar di dalam dan air panas. Alternatif penginapan lainnya adalah di rumah-rumah penduduk/nelayan dengan kenyaman yang kurang, kamar yang pengap, panas dan kotor.
Fasilitas rumah makan di kawasan Ujung Genteng dipandang kurang dari segi kuantitas maupun kualitasnya (baik dari segi pilihan jenis makanannya, kebersihan makanan maupun kerapihan tempatnya). Dalam pengadaan bahan makanan masih dihadapi banyak kendala, misalnya jarangnya rumah makan sea food walaupun di lokasi tersebut merupakan tempat pendaratan nelayan yang besar, jarangnya bahan sayuran yang harus didatangkan dari Surade (berjarak 20 km) ataupun jenis bahan makanan lainnya yang didapatkan dari Sukabumi (berjarak tempuh 10 jam perjalanan pulang pergi).



IV.   METODE TRAVEL COST UNTUK VALUASI EKONOMI KAWASAN EKOWISATA PESISIR

            Untuk mengelola sumber daya alam Kawasan Ekowisata Ujung Genteng yang dapat ditinjau sebagai barang publik, yang mempunyai berbagai daya tarik (attractions) alami. Maka perlu dilakukan dengan terencana karena pengembangan kawasan rekreasi dapat memicu tumbuhnya dampak positif dan negatif, baik terhadap ekonomi dan sosial budaya maupun kelestarian sumberdaya. Hufsmid (1987) menyatakan bahwa semua manfaat yang diperoleh dari barang dan jasa lingkungan dapat dimasukan dalam analisis biaya-manfaat karena kerusakan yang ditimbulkan oleh kegiatan ekonomi adalah biaya daripada aktifitas itu sendiri.

Cost – Benefit Analysis Bagi Kegiatan Ekowisata
Pada umumnya Cost - Benefit Analysis atau yang sering disebut dengan Metode Analisis Biaya Manfaat merupakan alat yang digunakan untuk menyusun kebijakan dimana para pengambil keputusan dapat memilih berbagai alternatif yang saling bersaing. Dalam bidang pariwisata, diawali dari riset Cleverdon (1979), Stough and Feldman (1982) yang diperkuat oleh Pearce (1989) riset mengenai pariwisata wilayah bukan hanya akan memberikan beberapa hasil segera seperti perluasan lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan dan sarana untuk wilayah, namun juga sering membawa dampak negatif. Hasil riset tersebut diperkuat oleh Forsyth and Dwyer (1991) yang menyajikan pengembangan wilayah pariwisata akan mengakibatkan dampak jangka pendek dan jangka panjang lainnya, secara terperinci. Kedua metode tersebut, identik dengan riset yang sering dilakukan untuk para perencana wilayah yaitu Cost - Benefit Analysis.  Pada awalnya alat analisa ini hanya digunakan bagi sektor ekonomi saja, yaitu sebuah teknik untuk mengukur kelayakan program investasi dan pembiayaannya, sebagai dasar penentuan keputusan bagi organisasi pariwisata yang komersial.  Namun tidak semua analisa Cost and Benefit adalah merupakan analisa kuantitatif, selain variabel ekonomi, analisa ini juga melibatkan faktor dampak sosial and environmental lainnya (Witt & Moutinho, 1995), pendapat tersebut diperkuat oleh Bull (1995) yang merangkum pendapat hasil riset dari Murphy (1985) dan Bryden (1973).

Penggunaan Perhitungan Moneter
            Metode Cost - Benefit Analysis (Metode Analisis Biaya Manfaat) ini merupakan salah satu penerapan ekonomi kesejahteraan modern. Djajadiningrat (2001) menegaskan mengapa pentingnya perhitungan moneter untuk keuntungan dan kerugian lingkungan, yaitu: 1) Dapat mengetahui dan mengartikan ‘moneterisasi’ keinginan individu membayar untuk kepentingan lingkungan, miasalnya keinginan untuk membayar bukan hanya pelestarian dan perbaikan saja, namun juga untuk menerima kompensasi dari kerugian. 2) Perhitungan moneter ini dapat menjadi pendukung untuk pemihakan terhadap kualitas lingkungan. 3) Komparatif dalam bentuk moneter untuk dibandingkan dengan alternatif lainnya dalam pemanfaatan dana.

Valuasi Ekonomi pada Ekowisata Pesisir
Valuasi ekonomi khususnya pada obyek ekowisata pesisir dapat diinpretasikan dari pengertian-pengertian berikut ini:  1). Nilai (value) adalah merupakan persepsi seseorang; yaitu harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada suatu tempat dan waktu tertentu. Kegunaan, kepuasaan dan kesenangan merupakan istilah-istilah lain yang diterima dan berkonotasi nilai atau harga. Ukuran harga ditentukan oleh waktu, barang, atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya.  2). Penilaian (valuasi) adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa (Davis dan Johnson, 1987).
Terhadap penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan valuasi ekonomi hingga saat ini telah banyak dipergunakan oleh barbagai atraksi pariwisata. Demikian pula perhitungan-perhitungan tentang biaya lingkungan sudah cukup banyak berkembang. Menurut Hufscmidt, et al., (1992), secara garis besar metode penilaian manfaat ekonomi (biaya lingkungan) suatu sumberdaya alam dan lingkungan pada dasarnya dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu berdasarkan pendekatan yang 1) berorientasi pasar { terdiri dari : Penilaian manfaat menggunakan harga pasar aktual barang dan jasa (actual based market methods), Penilaian biaya dengan menggunakan harga pasar aktual terhadap masukan berupa perlindungan lingkungan, dan Penggunaan metode pasar pengganti (surrogate market based methods) }, dan 2) pendekatan yang berorientasi survey atau penilaian hipotesis { terdiri dari : Pertanyaan langsung terhadap kemauan membayar (Willingness To Pay), dan Pertanyaan langsung terhadap kemauan dibayar (Willingness To Accept) }

Willingness To Pay
Menurut Munasinghe (1993) Konsep dasar dalam penilaian ekonomi yang mendasari semua teknik adalah kesediaan membayar dari individu untuk jasa-jasa lingkungan atau sumberdaya. Sehingga teknik penilaian manfaat tersebut, didasarkan pada kesediaan konsumen membayar perbaikan atau kesediaan menerima kompensasi dengan adanya kemunduran kualitas lingkungan dalam sistem alami serta kualitas lingkungan sekitar (Hufschmidt et al., 1987). Lebih lanjut Pearce dan Moran (1994) menyebutkan tentang kesediaan membayar atau kesediaan menerima merefleksikan preferensi individu, kesediaan membayar dan kesediaan menerima adalah ‘bahan mentah’ dalam penilaian ekonomi.
Sehingga Willingness To Pay menjadi salah satu dari berbagai macam teknik penilaian dapat digunakan untuk mengkuantifikasikan konsep dari nilai. Secara ringkas, dapat digambarkan kesediaan membayar dari rumah tangga ke i untuk perubahan dari kondisi lingkungan awal (Qo) menjadi kondisi lingkungan yang lebih baik (Q1) dapat disajikan dalam bentuk fungsi, yaitu :
WTPi = f(Q1 – Qo, Pown,i, Psub,i, Si, )
Keterangan :
WTPi              =   Kesediaan membayar dari rumah tangga ke i
Pown                =   Harga dari penggunaan sumberdaya lingkungan
Psub,i,          =   Harga subtitusi untuk penggunan sumberdaya Lingk.
Si,               =   Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga ke i

Surplus Konsumen
kesediaan membayar berada di area di bawah kurva permintaan (Munangsihe, 1993). Yaitu dengan mengurangkan biaya suatu barang bagi konsumen (O P2 E Q2) dari total kurva permintaan, nilai surplus konsumen ditunjukan sebagai bidang segitiga P1 E P2 (Samuelson dan Nordhaus, 1990) dan merupakan ukuran kemauan membayar di atas pengeluaran kas untuk konsumsi (Hufschmidt et al., 1987). Surplus konsumen merupakan perbedaan antara jumlah yang dibayarkan oleh pembeli untuk suatu produk dan kesediaan untuk membayar (Samuelson dan Nordhaus, 1990; Pomeroy, 1992).

 

Konsep Pengukuran Nilai Ekonomi Sumberdaya
Nilai dapat terjadi setelah adanya interaksi antara manusia sebagai subjek (penilai) dan obyek yang dinilai (Pearce dan Moran, 1994; Turner, Pearce dan Bateman, 1994). Setiap individu memiliki sejumlah nilai yang dikatakan sebagai nilai penguasaan (held value) yang merupakan basis preferensi individu. Pada akhirnya nilai obyek ditentukan oleh bermacam-macam nilai yang dinyatakan (assigned value) oleh individu (Pearce dan Turner, 1990), yaitu :  
TEV = UV + NUV atau TEV = (DUV + IUV + BV) + (XV + BV)
Nilai ekonomi atau total nilai ekonomi suatu sumberdaya secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu nilai penggunaan (use value) dan nilai intrinsik (non use value) (Pearce dan Turner, 1990; Pearce dan Moran, 1994; Turner, Pearce dan Bateman, 1994). Selanjutnya dijelaskan bahwa nilai penggunaan (use value) dibagi lagi menjadi nilai penggunaan langsung (direct use value), nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) dan nilai pilihan (option value), sedangkan nilai intrisik (non use value) terdiri atas nilai keberadaan (existence value) dan nilai warisan (bequest value)

Metode Pendugaan Nilai Ekonomi
Untuk menentukan faktor-faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap permintaan produk dan produk dari jasa lingkungan rekreasi ekowisata pesisir digunakan analisis linier berganda. Model yang digunakan adalah model logaritma, sebab koefisien regresi dari model log merupakan nilai elastitas, dan elastisitasnya bersifat konstan. Di sisi lain pentransformasian ke dalam bentuk logaritma adalah untuk mengurangi situasi heteroskedastisitas (Gujarati, 1988; Arief, 1993).
1)  menghitung intersep baru (b’) dari fungsi permintaan, cara perhitungannya adalah :
Ln Q = bo + b1 Ln X1 + b2 (Ln X2i ) + ….. bn (Ln Xn)
Ln Q = ( (bo + b2 (Ln X2 ) ) + ….. bn (Ln Xn) + b1 Ln X1
Ln Q = b’ + b1 Ln X1
2) mengembalikan persamaan tersebut di atas ke fungsi asal, dan kemudian mentransformasikan fungsi asal, dimana persamaan berubah menjadi peubah tak bebas X1 dan peubah bebas Q.
Cara menduga utiliti atau kesediaan membayar dengan menggunakan persamaan matematik menurut McKenzie (1983), adalah :
     a
  U =       f(q) dQ
     0
keterangan :
U       =     Utiliti (kesediaan membayar)
f(Q)   =     Fungsi permintaan
a        =     Jumlah produk yang dikonsumsi
Lebih lanjut lagi, McKenzie (1983) memberikan batas atas dari integral adalah jumlah barang yang dikonsumsi, sedangkan Darusman (1993), memberikan batas atas adalah rata-rata jumlah barang yang dikonsumsi. Sedangkan, Turner, Pearce dan Bateman (1994) menyatakan bahwa total kesediaan membayar sama dengan total harga yang dibayar ditambah total surplus konsumen. Perhitungan total nilai ekonomi, surplus ekonomi dan harga yang dibayarkan dari setiap produk dilakukan dengan menggandakan produk atau produk dari jasa lingkungan yang dihasilkan.

Nilai Ekonomi Rekreasi Ekowisata Pesisir
Nilai ekonomi rekreasi dapat diduga dengan menggunakan metode biaya perjalanan wisata (travel cost method), yang meliputi biaya transport pulang pergi dari tempat tinggalnya ke lokasi kawasan Ekowisata Pesisir Ujung Genteng dan pengeluaran lain selama di perjalanan dan di dalam kawasan tersebut (mencakup dokumentasi, konsumsi, parkir, karcis masuk, dll).
Menurut Bahruni (1993) untuk mengetahui kurva permintaan, dibuat model permintaan yang merupakan hubungan antara jumlah kunjungan per seribu penduduk daerah asal (zona) pengunjung dengan biaya perjalanan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam menentukan fungsi permintaan tersebut :
1.    menentukan jumlah kunjungan
2.        menduga distrubusi (persentase) daerah asal pengunjung berdasarkan sensus pengunjung di pintu masuk
3.    menentukan jumlah kunjungan per tahun dari daerah tertentu.
4.    menentukan jumlah kunjungan dari daerah tertentu per 1000 penduduk
5.    menentukan biaya perjalanan rata-rata dari daerah tertentu, yang ditentukan berdasarkan biaya perjalanan responden
6.    menentukan nilai ekonomi dengan kunjungan per 1000 penduduk sebagai Y dan biaya perjalanan wisata sebagai X.





















V.         PEMBAHASAN PENGGUNAAN METODE TRAVEL COST

Pembatasan Pembahasan Studi
Berikut ini disajikan sebuah contoh ilustrasi studi tentang perhitungan dan valuasi ekonomi dengan menggunakan metode travel cost, terhadap kawasan obyek ekowisata pesisir Ujung Genteng Kabupaten Sukabumi. Studi ini dieksplorasi terutama dari data skunder sehingga perlu disebutkan berbagai pembatasan-pembatasan yang disebabkan keterbatasan waktu, responden, tenaga, data dll, sehingga studi ini dibatasi:
°         Berbagai macam data yang muncul adalah data skunder yang didapatkan dari petugas pengelola kawasan.
°         Contoh perhitungan merupakan gabungan dari berbagai contoh studi yang terdahulu dilaksanakan diberbagai jenis, lokasi dan obyek pariwisata lainnya,
°         Responden yang diilustrasikan hanya dibatasi pada para pengunjung lokal (sekitar Kabupaten Sukabumi) saja, yang merupakan pengunjung terbanyak ke lokasi ekowisata pesisir tersebut,

Waktu, Cara dan Tempat Penelitian

Lokasi penelitian ini akan bertempat di kawasan wisata pesisir Ujung Genteng Kecamatan Ciracap dan Waluran, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, luas jangkauan penelitian pada wilayah pesisir ini diperkirakan sepanjang 176 km garis pantai, dengan demikian bagian inti dari obyek penelitian sedikitnya akan mencakup 12 km kearah laut dari batas PTR (pasut tinggi rata-rata) dan 2 km ke arah darat dari batas PTR, atau luas daerah penelitian akan mencakup ± 2.464 km2 dan dapat berkembang disesuaikan dengan luas cakupan dua kecamatan, isu pengelolaan, sumber daya dan lingkungan.
Pengamatan pada para pengunjung obyek ekowisata pesisir tersebut yang diamati adalah pengunjung yang memasuki kawasan Ujung Genteng terutama pada para pengunjung lokal (sekitar kabupaten Sukabumi), yang melalui pintu gerbang obyek ekowisata yang terletak di Kecamatan Ciracap. Pendataan pengunjung dilaksanakan pada April s/d Juni 2002.

Karakteristik Pengunjung Lokal
Pengamatan yang pertama dilakukan terhadap 792 orang responden pengunjung pada obyek ekowisata pesisir kawasan Ujung Genteng, sehingga didapatkan bahwa karakteristik asal pengunjung di kawasan ekowisata pesisir tersebut :
  

Pengamatan kemudian dikhususkan terhadap 484 orang responden pengunjung lokal (dari Kabupaten Sukabumi dan sekitarnya), sehingga diketahui karakteristik usia pengunjung tersebut dapat dilihat dari diagram yang disajikan berikut :
 

Karakteristik responden berikutnya yang perlu diketahui adalah tentang jenis pekerjaan pengunjung, adapun gambaran ringkas tentang karakteristik jenis pekerjaan pengunjung tersebut dapat dilihat dari diagram yang disajikan berikut :
 
 

Menghitung Travel Cost
Dalam menentukan nilai ekonomi pariwisata dapat didasarkan pada pendekatan biaya perjalanan wisata (travel cost) yaitu, jumlah uang yang dihabiskan selama melakukan kunjungan wisata obyek ekowisata pesisir Kawasan Ujung Genteng Sukabumi. Biaya tersebut meliputi biaya transportasi pulang pergi, biaya konsumsi, biaya dokumentasi, dan lain-lain (termasuk karcis masuk).
Menurut Harianto (1994) biaya perjalanan wisata dapat didasarkan pada biaya-biaya yang sangat ditentukan oleh biaya masing-masing pengunjung dari masing-masing daerah asal pengunjung karena besarnya masing-masing bagian berbeda-beda. Sehingga klasifikasi pengunjung didasarkan pada wilayah asal dan biaya perjalanan wisata pengunjung tersebut pada daerah obyek ekowisata pesisir Kawasan Ujung Genteng Sukabumi, pada pengamatan terhadap pengunjung yang merupakan wisatawan lokal, maka penggolongan wilayah dapat dibagi menjadi 13 daerah asal, yaitu dari berbagai daerah dan Kecamatan di sekitar Kabupaten Sukabumi, yang dibagi menjadi wilayah-wilayah Surade, Lengkong, Nyalindung, Jampang Tengah, Pelabuhan Ratu, Cikembar, Cibadak, Baros, Cisaat, Sukabumi, Parung Kuda, Lido, dan Jampang Kulon.
Langkah berikutnya adalah menghitung data-data dan mempersiapkan tabel berikut ini :


Z1
X4
Y
X2
Z2
Z3
X1
X3
X5
X6
X7
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Surade
Jampang Kulon
Nyalindung
Lengkong
Pelabuhan Ratu
Jampang Tengah
Cibadak
Baros
Cisaat
Sukabumi
Cikembar
Parung Kuda
Cicurug
20
66
74
94
40
24
46
38
20
22
14
14
12
29.622
83.686
154.514
117.272
166.310
142.634
162.042
228.888
152.456
335.402
292.178
62.054
90.706
0,6752
0,7887
0,4789
0,8015
0,2405
0,1683
0,2839
0,1660
0,1312
0,0656
0,0479
0,2256
0,1323
733,34
2.778,40
5.000,00
4.677,00
5.858,40
5.710,00
7.908,40
5.996,40
6.571,40
8.349,40
7.122,40
8.133,40
18.174,00
3.666,00
6.794,00
4.000,00
5.538,00
4.312,00
8.160,00
4.216,00
6.208,00
4.476,00
3.534,00
5.544,00
3.000,00
9.400,00
1.250,00
1.789,40
750,00
6.538,00
1.832,00
2.300,00
2.834,00
5.210,00
3.700,00
1.777,80
1.500,00
2.278,00
1.500,00
5.650,00
11.360,00
9.750,00
16.754,00
12.002,00
16.170,00
14.956,00
17.414,00
14.748,00
13.660,00
14.166,00
12.300,00
53.668,00
191.666
460.526
262.500
484.614
575.000
460.000
591.666
454.736
478.572
633.334
500.000
500.000
460.000
12
13
12
13
14
16
17
14
16
18
14
14
14
19,00
40,00
22,50
39,70
43,00
39,60
42,00
40,40
37,70
50,70
45,00
40,00
38,00
19,80
4,62
13,20
6,60
3,19
13,40
5,06
3,30
6,93
3,08
4,73
3,63
2,08

Apabila data-data tersebut dimasukan ke rumus berikut  Ln Qi = bo + b1 Ln X1i + b2 Ln X2i + ….. bn Ln Xni + mi dan diketahui bahwa pengelompokan peubah-peubah nya adalah :
Y       =     Jumlah Kunjungan per 1000 penduduk (orang)
X1     =     Biaya Perjalanan (transportasi, konsumsi, karcis, dll)
X2     =     Biaya Transportasi (Rp)
X3     =     Pendapatan/uang saku per bulan (Rp)
X4     =     Jumlah Penduduk Potensial dari Kecamatan asal Pengunjung (orang)
X5     =     Pendidikan (tahun)
X6     =     Waktu kerja per minggu (jam)
X7     =     Waktu luang per minggu (jam)
Z1     =     Jumlah kunjungan per minggu (orang)
Z2     =     Biaya Konsumsi (Rp)
Z3     =     Biaya lain-lain (Rp)
Maka hasil regreasi berganda antara jumlah kunjungan per seribu penduduk (Y) dengan variabel-variabel bebas (X1-X7) diperkirakan akan menghasilkan model permintaan berikut ini: Y = 13,1 – 0,000240X1 – 0,000036 X4 – 0,926 X5 + 0,124 X6. Dengan P = 0,005 dan koefisien determinasi 81,1%. Selain variabel biaya perjalanan, ternyata variabel yang mempengaruhi jumlah kunjungan adalah jumlah penduduk (X4), pendidikan (X5) dan waktu kerja (X6).
Apabila nilai ekonomi wisata dengan model tersebut dilakukan dengan menganggap variabel lain tetap (dalam hal ini digunakan nilai rata-rata), maka penggunaan nilai rata-rata untuk variabel lain berpengaruh terhadap intersep sehingga persamaan menjadi Y = 3,9342 – 0,00024 X1. Selanjutnya persmaan diinversi menjadi X1 = 16.392,5 – 4.166,67 Y. penghitungan nilai ekonomi (rata-rata kesediaan berkorban, nilai yang dikorbankan, dan surplus konsumen) dilakukan dengan mengintegralkan persamaan hasil inversi dengan batas bawah pada saat Y = 0 dan batas atas Y rata-rata. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh rata-rata kesediaan berkorban adalah Rp. 50.641,12 per 1000 penduduk, nilai yang dikorbankan adalah Rp. 32.108,69 per 1000 penduduk, dan surplus konsumen adalah Rp 18.550,43 per 1000 penduduk.
Kemudian untuk menghitung total kesediaan berkorban, nilai yang dikorbankan dan surplus konsumen wisatawan yang berkunjung ke obyek ekowisata pesisir kawasan Ujung Genteng Sukabumi dilakukan dengan mengkonversi nilai tersebut dengan total jumlah penduduk yang potensial untuk berwisata di seluruh daerah asal pengunjung dengan formula berikut :

Nilai rata-rata   x   Jumlah Penduduk
Total Nilai = ---------------------------------------------
1000

Diketahui bahwa jumlah penduduk yang potensial untuk berwisata dari seluruh daerah asal pengunjung adalah 2.017.746 orang. Ringkasan hasil perhitungan total nilai kesediaan berkorban, yang dikorbankan dan surplus konsumen wisata disajikan sebagai berikut:

Tabel Hasil Perhitungan Kesediaan Untuk Berkorban, Nilai yang Dikorbankan dan Surplus Konsumen pada obyek ekowisata pesisir kawasan Ujung Genteng Sukabumi

Nilai Ekonomi
Rata-rata Rp /1000 /tahun
Penduduk Potensial
Jumlah Rp /tahun
Kesediaan Brkorban
Nilai yg Dikorbankan
Surplus Konsumen
50.641,12
32.108,69
18.550,43
2.017.746
2.017.746
2.017.746
102.180.917
64.787.181
37.430.056


Dari tabel tersebut nilai yang diperoleh oleh seluruh masyarakat berdasarkan hasil analisis kurva permintaan pada saat biaya perjalanan rata-rata (Rp. 14.462). pada saat biaya kunjungan wisata rata-rata, jumlah pengunjung diduga mencapai 4.436 orang. Apabila dugaan nilai ekonomi tersebut dibagi dengan jumlah dugaan jumlah pengunjung (4.436 orang) maka diperoleh rata-rata nilai kesediaan berkorban sebesar Rp. 23.034 per kunjungan, nilai yang dikorbankan sebesar Rp. 14.605 per kunjungan dan surplus konsumen sebesar Rp. 8.429 per kunjungan.


VI.  KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan


Dengan Metode Travel Cost diharapkan dapat diketahui keinginan individu untuk membayar bagi kepentingan lingkungan, pelestarian dan perbaikan saja, dan kompensasi dari kerugian. Kemudian perhitungan moneter ini dapat menjadi pendukung kualitas lingkungan. Dan selanjutnya dapat membandingkan dalam berbagai alternatif lainnya terutama dalam pemanfaatan dana.
Dari contoh hasil perhitungan diperoleh rata-rata kesediaan berkorban adalah Rp. 50.641,12 per 1000 penduduk atau sebesar Rp. 23.034 per kunjungan, nilai yang dikorbankan adalah Rp. 32.108,69 per 1000 penduduk atau sebesar Rp. 14.605 per kunjungan, dan surplus konsumen adalah Rp 18.550,43 per 1000 penduduk atau sebesar Rp. 8.429 per kunjungan, pada obyek ekowisata pesisir Kawasan Ujung Genteng kabupaten Sukabumi.

Rekomendasi dan Saran

Dalam strategi pengelolaan ekowisata pesisir dan bahari di Indonesia (khususnya obyek studi kawasan Ujung Genteng) yang memiliki potensi besar namun sekaligus sensitif (fragile/vulnerable) terhadap dampak-dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata, maka dari studi itu, setelah mempertimbangkan perangkat analisa Cost-Benefit Analysis, Economic Valuation, Travel Cost Method dan penghitungan Willingness to Pay. Studi ini merekomendasikan langkah-langkah mengembangkan manfaat dari sumberdaya ekowisata secara berkelanjutan dan terintegrasi dengan menggunakan Sustainable Coastal Ecotourism Land Resources Management, diharapkan dengan menggunakan metode tersebut dapat mengembangkan ekowisata pesisir dan bahari Indonesia secara internasional dengan mengutamakan kelestarian dan keberkelanjutan pembangunan, sehingga daya tarik alami ekowisata pesisir khususnya pada obyek ekowisata pesisir Kawasan Ujung Genteng kabupaten Sukabumi akan selalu terjaga yang merupakan modal utama obyek wisata yang unggul.


DAFTAR PUSTAKA

Albertson M.L. 1999. The Village Earth Model for Sustainable Village Development. Colorado State University. Colorado
Anonimous, 1997. Ensiklopedi Kehutanan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan RI. Jakarta
Baldwin P. and Brodess D. 1993. Asia’s New Age Travelers. Asia Travel Trade.
Bengen D.G., 2001. Sinopsis Ekosistem Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor. 62 p.
Bryden J. 1973. Tourism and Development: a Case Study of the Commonwealth Carribean, Cambridge University Press, Cambridge.
Bull A. (1995). The Economics of Travel and Tourism. Longman. Sydney.
Boo. 1992. The Eco-tourism Boom. WHN Technical Paper. WWF. Washington.
Brandon. K. 1996. Eco-tourism and Conservation. The World bank Environment Department
Cater E. and Lowman. 1994. Eco-tourism: A sustainable Option. Whiley. London
Carr, A.1980. Some Problems of Sea Turtle Ecology. Amer.Zool.
Clark, L.H. 1997. Penelitian dan Pengelolaan Penyu di Malaysia. Makalah Seminar Penelitian dan Pengelolaan Penyu di Indonesia. Jember. Indonesia.
Choy et. Al. 1997. Eco-tourism Planning: Lessons from South East Queensland Experience. Planning Sustainable Tourism. ITB. Bandung
Dahuri, R., et al. 1995. Studi Pengembangan Kebijaksanaan Ekonomi Lingkungan. PPLH IPB dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Enrenfeld, D.W. 1974. Conservasing The Edible Sea Turtle. Can Marineculture help?. America Scientific Journal.
Faulkner B. 1997. Tourism development in Indonesia: The “Big Picture” Perspective. Planning Sustainable Tourism. ITB. Bandung
Goodwin H. 1997. Terestrial Ecotorism. Planning Sustainable Tourism. ITB. Bandung
Gunn C.A, 1994. Tourism Planning. Basics, Concepts, Cases. Third Edition. Taylor & Francis Publisher.
Gujarat, D. 1988. Ekonometrika Dasar. Terjemahan. PT. Erlangga. Jakarta
Hufschmidt, M. M., et al. 1987. Lingkungan Sistem Alami dan Pembangunan. Terjemahan. UGM Press
Halim dan Dermawan, 1999. Marine Turtle Research, Management and Conservation in Indonesia. Report of The Seafdec – Asean Regional Workshop on Sea Turtle Conservation and Management. ISBN 983-9114-10-7 (in Malaysia)
Hudman L.E. and Donald E. 1989. Tourism Contemporary Society. Englewood Cliffs. New Jersey
Hotta, K. and Dutton I.M.  1995.  Coastal Management in the Asia-Pasific Region : Issues and Approaches. Japan International Marine Science and Technology Federation. Tokyo, Japan. 421 p.
Halliday et.al. 1986. Editor Encyclopaedia of Reptiles and Insect. Equinox (Oxford) Ltd. Littlegate House. St Ebbe's Street. Oxford. 
Hirth, H.F. 1971. Synopsis of Biological Data on Green Turtle (Chelonia mydas L.) FAO Fiesheries Synopsis. Rome.
Lascurain C. (1988). Eco-tourism. A Perspective for Sustainable Development
Lindberg. K. 1991. Policies for Maximizing Nature Tourism Ecological and Economic Benefit. World Resources Institute
Murphy P.E.1985.Tourism: a Community Approach. Methuen. New York.
McKenzie, G. W. 1983. Measuring Economic Wellfare, New Methods. Cambridge University Press.
Munangsihe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environment Paper Number 2.
Nuitja, N.S. 1981. Konservasi dan Pengembangan Penyu di Indonesia. Makalah Seminar Penelitian dan Pengelolaan Penyu di Indonesia. Jember. Indonesia.
Pearce, D. dan R. K Turner. 1990. Economics of Natural Resources and The Environment. Harvester Wheatsheaf.
Pearce, D. dan D. Moran. 1994. The Economics Value of Biodeversity.IUCN.
Pomeroy, R. S. 1992. Economic Valuation: Available Methods dalam Chua T. E. dan L. F. Scura. Integrative Framework and Methods for Coastal Area Management Association of Southeast Asian Nation/United States Coastal Resources Management Project.
Supriana N. 1997. Pengembangan Wisata Alam di Kawasan Pelestarian Alam. Planning Sustainable Tourism. ITB. Bandung
Silver C. 1997. Urban Based Eco-tourism in Indonesia. Planning Sustainable Tourism. ITB. Bandung
Setiawan A. 2000. Nilai Ekonomi Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Propinsi Lampung. Tesis S2. Program Pasca Sarjana
Supriharyono.  2000.  Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam dii Wilayah Pesisir Tropis.  PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Soeriatmadja. 1997. Prospect of Developing Marine and Beach Tourism in Indonesia. Planning Sustainable Tourism. ITB. Bandung
Steele P. 1993. The Economics of Eco-tourism. Focus 9
Sub Balai KSDA Jatim II. 1990. Penyu Laut di Sukamade. Jember.
Subagio. 1991. Pembahasan Strategi Nasional dan Action Plan Konservasi dan Pengelolaan Penyu. Rencana Pengelolaan dan Konservasi Penyu di Pantai Pangumbahan dan Sekitarnya. KLH, Departemen Kehutanan. Jakarta.
Sumardja, E. 1991. Pembahasan Strategi Nasional and Action Plan Konservasi dan Pengelolaan Penyu. KLH, Departemen Kehutanan, Jakarta,
Tribe J, 1999, The Economics of Leisure and Tourism, Butterwood-Heinemann, London
Triwibowo, E. 1991. Studi Tentang Pemanfaatan Penyu Laut Dalam Kaitan Dengan Usaha Pelestariannya Di Daerah Tingkat II Kabupaten Badung. Propinsi Bali. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Indonesia.
World Tourism Organization. 2000.Tourism Trends. Madrid
Wyasa B. 2001. Meluruskan Pengertian Ekowisata. Tamasya. Jakarta
Witt S.F. and Mountinho L. (1995). Tourism Marketing and Management Handbook. Prentice Hall. Englewood Cliffs. New York.
Wheat S. 1994. Taming Tourism. Geography 116
Whelan. 1991. Nature Tourism :Managing the Environment. Island Press. Washington
Ziffer K.A. 1989. Eco-tourism: The Uneasy Alliance. Conservation International

Tidak ada komentar:

Posting Komentar