Jurnal
Ilmiah PARIWISATA
March
2005, Vol. 10, No. 1, p. 58 - 76
Valuasi
Ekonomi dengan Travel Cost Method pada Obyek Ekowisata Pesisir
(Kasus
kawasan Ujung Genteng, Sukabumi)
Rudy Aryanto
Bina Nusantara University
ABSTRACT
The phenomenal growth of global
tourism has immediate and far reaching consequences for the natural and
cultural heritage, as it directly links tourism activities with low impact use
of the natural resources, environmental conservation and sustainable economic
activities. One among many terms given to this form of tourism is ecotourism
sectors. The rapidly growing ecotourism
movement for coastal zone of tourism attraction, in this case just like the
ecotourism in the Ujung Genteng, West Java area natural green sea turtle
conservation, coral reef and sandy coastal scenery, fishing community, and
others various natural potentials, can be beneficial to attract domestic
tourists as well as international tourists. The travel cost method can use to
estimate economic use values associated with ecosystems or sites that are used
for recreation such Ujung Genteng Area. The method can be used to estimate
the economic benefits or costs resulting from:
1) changes in access costs for a recreational site, 2) elimination of an
existing recreational site, 3) addition of a new recreational site, and 4)
changes in environmental quality at a recreational site. The basic premise of
the travel cost method is that the time and travel cost expenses that people
incur to visit a site represent the “price” of access to the site. Thus,
peoples’ willingness to pay to visit the site can be estimated based on the
number of trips that they make at different travel costs. This is
analogous to estimating peoples’ willingness to pay for a marketed good based
on the quantity demanded at different prices. This section continues with
example applications of the travel cost method to analyze the ecotourism in the
Ujung Genteng area, followed by a more complete technical description of the
method and its advantages and limitations.
Keywords: ecotourism, conservation, economic benefit, travel
cost method
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam menyusun perencanaan dan pengelolaan pembangunan
untuk masa depan diperlukan adanya suatu pergeseran paradigma dari strategi import
substitution industry menjadi resource based industry. Perubahan
paradigma ini perlu disertai instrumen kebijakan untuk dapat melakukan dorongan
besar bagi pertumbuhan ekonomi berupa pilihan strategi pembangunan dan
industrialisasi berbasis sumberdaya alam, khususnya dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir melalui sector ekowisata. Salah satu contoh yang dapat
dikembangkan adalah kawasan ekowisata pesisir kawasan Ujung Genteng, Sukabumi.
Perkembangan Pariwisata Baru menuju
Ekowisata Pesisir dan Bahari
Pariwisata merupakan industri dengan pertumbuhan tercepat didunia (WTO,
2000), dalam resolusinya PBB pun telah menyatakan bahwa pariwisata as a basic and desirable human activity
deserving the praise and encouragement of all peoples and governments.
khusus bagi wisata bahari secara global di tahun 1993 mampu menghasilkan devisa
lebih dari US$ 3.5 triliun atau sekitar 6 – 7% dari total pendapatan kotor
dunia (WTTC, 1993). Indonesia yang
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.508 pulau dengan
panjang garis pantai 81.000 km, memiliki potensi sumberdaya pesisir dan lautan
yang sangat besar (Bengen, 2001). sektor ini meningkatkan kontribusi bidang
kawasan dan wisata secara signifikan dari Rp. 3 triliun di tahun 1990 menjadi
Rp. 33 triliun di tahun 1999, kontunuitas pengembangan ini tentunya
berimplikasi pada bidang usaha wisata lainnya, yaitu perhotelan, jasa rekreasi,
biro perjalanan, dan restoran yang terletak di kawasan wisata
Saat ini pariwisata bergerak menuju paradigma baru, yaitu merubah
paradigma lama yang lebih mengutamakan pariwisata masal (wisatawan yang
besar/berkelompok dan paket wisata yang seragam) (Faulkner B., 1997), menjadi
wisatawan yang lebih canggih, berpengalaman dan mandiri, yang bertujuan tunggal
mencari liburan fleksibel, keragaman dan minat khusus pada lingkungan alam dan
pengalaman asli (Baldwin dan Brodess, 1993) yang oleh Eadington dan Smith
(1995) diartikan sebagai konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial dan
masyarakat yang memungkinkan adanya interaksi positif diantara para pelakunya.
Konsep ini sejalan dengan Ekowisata (eco-tourism) yang lebih menekankan pada
faktor daerah alami (Lascurain dan Ceballos, 1988) dan telah dikembangkan sejak
1980 (Orams, 1995), sebagai suatu perjalanan bertanggungjawab ke lingkungan
alami yang mendukung konservasi dan meningkatkan kesejateraan penduduk setempat
(The Ecotourism Society, 1993). Dan
diperkuat oleh Ziffer (1989) menekankan pada sektor sejarah dan budaya, Whelan
(1991) pada faktor etnis, Boo (1992) pada faktor pendidikan lingkungan, Steele
(1993) tentang proses ekonomi, Cater and Lowman (1994) tentang pemanfaatan
bertanggung jawab dan imbuhan kata ‘eco’(seperti ecotour, ecotravel, ecosafari,
ecovacation, ecocruise, dll), Hudman et.al. (1989) pada faktor budaya, Lindberg
(1991) pada faktor pelestarian, Gunn (1994) pada faktor petualangan, Brandon
(1996) pada faktor pengetahuan dan konservasi, Kususdianto (1996) memberikan
batasan ruang lingkup usaha ekowisata, dan Silver C. (1997) yang memberikan
batasan-batasan berikut: (1) Menginginkan pengalaman asli, (2) Layak dijalani
secara pribadi maupun sosial, (3) Tak ada rencana perjalanan yang ketat, (4)
Tantangan fisik dan mental, (5) Interaksi dengan budaya dan penduduk setempat,
(6) Toleran pada ketidaknyamanan, (7) Bersikap aktif dan terlibat, (8) Lebih
suka petualangan daripada pengalaman, sedangkan Choy, Low dan Heilbron (1996)
memberikan batasan lima faktor pokok yang mendasar yaitu: Lingkungan,
Masyarakat, Pendidikan dan Pengalaman, Keberlanjutan, Manajemen, dan Ecoturism Research Group (1996), yang
membatasi tentang wisata bertumpu pada lingkungan alam dan budaya yang terkait
dengan : (1) Mendidik tentang fungsi dan manfaat lingkungan, (2) Meningkatkan
kesadaran lingkungan, (3) Bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi, (3)
Menyumbang langsung pada keberkelanjutan. Ekowisata tidak setara dengan wisata
alam. Tidak semua wisata alam akan dapat
memberikan sumbangan positif kepada upaya pelestarian dan berwawasan
lingkungan, jenis pariwisata tersebut yang memerlukan persyaratan-persyaratan
tertentu yang menjadi ekowisata dan memiliki pasar khusus, demikian menurut
pendapat dari Wheat (1994) dan Goodwin H. (1997) dan diperkuat oleh Wyasa P.
(2001). Low Choy dan Heillbronn (1996),
merumuskan lima faktor batasan yang
mendasar dalam penentuan prinsip
utama ekowisata, yaitu :
1.
Lingkungan; ekowisata bertumpu pada lingkungan alam,
budaya alami
2.
Masyarakat; ekowisata bermanfaat ekologi, social dan
ekonomi pada masyarakat.
3.
Pendidikan dan Pengalaman; Ekotourism
harus dapat meningkatkan
pemahaman akan lingkungan alam
dan budaya dengan adanya pengalaman yang
dimiliki
4.
Berkelanjutan; Ekotourism memberikan sumbangan positip bagi keberlanjutan ekologi lingkungan baik jangka pendek maupun
jangka panjang.
5.
Manajemen; ekotourism harus dikelola secara baik dan
menjamin sustainability.
Wisata pesisir dan bahari merupakan
jenis kegiatan pariwisata yang berlandaskan pada daya tarik kelautan, memiliki
spektrum industri yang sangat luas dan bisnis yang melibatkan berbagai industri
yang sangat beragam. Konsep wisata pesisir dan bahari di dasarkan pada view,
keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karaktersitik
masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing-masing daerah.
Wheat (1994) dan Steele (1993) berpendapat wisata pesisir dan bahari adalah
proses ekonomi yang memasarkan ekosistem
dan merupakan pasar khusus yang menarik dan langka untuk orang yang sadar akan
lingkungan dan tertarik untuk mengamati alam.
Maka, sangat beralasan bagi Indonesia bila hampir di semua daerahnya
akan berupaya mengembangkan wisata pesisir dan bahari ini. Menurut riset dari Soeriaatmadja (1997) ada
lima hal yang melandasinya: (1) Seluruh daerah di Indonesia kecuali Kalimantan
Tengah memiliki daerah pantai pulau tropika, (2) Aksesibilitas, ekosistem
pesisir dan bahari selalu berada di garis depan atau pintu masuk ke ekosistem
darat, (3) Memenuhi karakter 3S (sun, sand, sea), (4) Disusun Rencana Induk
Pengembangan Pariwisata Nasional (RIPPNAS), (5) Variasi daya tarik wisata dan
laju pertumbuhan wisata.
Cakupan kegiatan ekowisata pesisir dan bahari ini sesungguhnya memiliki
spektrum industri yang sangat luas dan bisnis yang ditawarkannya sangat
beragam, selain akomodasi dan resor, serta beberapa komponen pariwisata lain
misalnya jasa penyedia transportasi, kapal pesiar, pengelola taman laut,
restoran terapung, rekreasi pantai, konvensi di pantai dan di laut, pemandu
wisata alam, dan sebagainya. Tentunya industri-industri pendukung/sub komponen
juga akan terbuka lebar antara lain jasa foto dan video, pakaian dan peralatan
olah raga, jasa resque, kerajinan dan cindera mata, dll.
Dampak dari Pengembangan Pariwisata
Tidak hanya dampak positif, kegiatan ekowisata dapat berpotensi
memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, baik terhadap lingkungan obyek
ekowisata maupun terhadap lingkungan sosial budaya setempat (Supriana N. 1997).
Lingkungan didefinisikan dahulu sebagai sesuatu yang terdiri dari tiga
komponen, yaitu lingkungan alam, binaan dan budaya yang saling terkait dan akan
ada pengaruh lintas komponen yang dikaitkan dengan pembangunan pariwisata.
Konsep holistik mengenai lingkungan ini perlu untuk menyadari seluruh jelajah
dampak potensial yang dapat ditimbulkan dari proyek atau pembangunan. (OECD,
1981). Gree dan Hunter (1993) meneliti tentang dampak negatif pada lingkungan
budaya yang dibagi dalam 6 komponen lingkungan yang akan rusak/berubah, yaitu :
(1) nilai dan kepercayaan, (2) moral, (3) perilaku, (4) seni dan kerajinan, (5)
hukum dan ketertiban, dan (6) sejarah. Hartanto (1997), menambahkan daftar
dampak negatif lainnya yang akan terjadi pada Lingkungan Binaan dan Lingkungan
Alam, yaitu pada: (1) flora dan fauna, (2) polusi, (3) erosi, (4) sumber daya
alam, (5) pemandangan.
Khususnya bagi daerah wisata pesisir menurut Clark
(1996) berbagai permasalahan yang umumnya ditemukan di wilayah pesisir dan
bahari saat ini adalah : 1). Penurunan sumberdaya alamiah, 2). Polusi, 3). Konflik penggunanaan lahan, 4).
Pengrusakan kehidupan dan kepemilikan akibat bencana alam.
Sustainabke Tourism
Dengan demikian perencanaan yang disusun haruslah disesuaikan dengan
konsep Sustainable & Responsible
Tourism. Seperti diketahui bahwa konsep
pembangunan berkelanjutan oleh WCED-PBB (1987) batasannya adalah sebagai
pembangunan yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan generasi sekarang tanpa
mempertaruhkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka
sendiri. Tujuannya adalah memadukan pembangunan dengan lingkungan sejak awal
proses penyusunan kebijaksanaan dan pengambilan keputusan yang strategik sampai
kepada penerapannya di lapangan. Kemudian pemikiran lebih lanjut memasukan
faktor etika dan equity yang melibatkan responsibility pada lingkungan sebagai
tindakan manusia yang merupakan aktor (individu, kelompok, organisasi, dll)
(Butler 1998).
Konsep manajemen strategi yang dapat diterapkan pada
industri pariwisata ini, dengan skema yang digunakan adalah seperti yang
dikemukakan oleh Tribe J. (1997) meliputi : (1) misi, (2) analisa strategi, (3)
penetapan strategi, dan (4) implementasi strategi. Pada sistem pengelolaan
ekowisata pesisir, perlu dicermati pembatasan tentang pembangunan yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (sustainable), maka Albertson (1999)
dalam risetnya menyebutkan dimensi-dimensi:
²
Environmental Sustainability (Cater
and Lowman 1994, Bottrill and Pearce 1995)
²
Economical Sustainability (Wanhill
1997)
²
Socio-Cultural Sustainability
(Pearce 1989, Nijkamp et.al. 1995, Milne 1998)
²
Political Sustainability (Mowforth
and Munth 1998)
Pendapat serupa dikemukakan oleh Dahuri et.al. (2001)
tentang garis besar konsep pembangunan berkelanjutan yang memiliki empat
dimensi, yaitu ekologis, sosial ekonomi budaya, sosial politik, serta hukum dan
kelembagaan. Maka dalam hal ini, telah terjadi kesamaan/kesepakatan tentang
variabel-variabel yang digunakan untuk menganalisa manajemen wilayah pesisir
dan bahari.
Tujuan Studi
Tujuan dari studi ini adalah untuk mempelajari fenomena
yang berkaitan dengan berbagai profil dan aktifitas wisata di kawasan Ujung
Genteng, Kabupaten Sukabumi, dengan harapan hasilnya dapat dijadikan masukan
dan arah bagi pengembangan kawasan wisata Ujung Genteng, dan untuk menemukan
indikasi-indikasi program kegiatan yang mungking bisa dikembangkan, serta
rekomendasi mengenai langkah strategis dalam upaya pengembangan kawasan wisata
Ujung Genteng baik dari segi pemanfaatan potensi industri pariwisata maupun
aspek keberlanjutan ekologisnya secara lebih terpadu.
Untuk mengelola sumber daya alam
Kawasan Ekowisata Ujung Genteng yang dapat ditinjau sebagai barang publik, yang
mempunyai berbagai daya tarik (attractions)
alami. Maka perlu dilakukan dengan terencana karena pengembangan kawasan
rekreasi dapat memicu tumbuhnya dampak positif dan negatif, baik terhadap
ekonomi dan sosial budaya maupun kelestarian sumberdaya. Hufsshmidt (1987)
menyatakan bahwa semua manfaat yang diperoleh dari barang dan jasa lingkungan
dapat dimasukan dalam analisis biaya-manfaat karena kerusakan yang ditimbulkan
oleh kegiatan ekonomi adalah biaya daripada aktifitas itu sendiri.
Pada bagian utama studi ini pembahasan diutamakan kepada salah satu
faktor utama yang sangat berpengaruh pada pengembangan ekowisata pesisir, yaitu
pembahasan tentang pengelolaan sumberdaya alam yang tepat bagi ekowisata
pesisir dengan mempertimbangkan valuasi ekonomi sebagai dasar perhitungannya,
khususnya pada kasus obyek pariwisata kawasan Ujung Genteng, Kabupaten
Sukabumi.
Dengan menggunakan Metode Travel Cost
diharapkan dari studi ini dapat diketahui keinginan individu untuk membayar
bagi kepentingan lingkungan, pelestarian dan perbaikan saja, dan kompensasi
dari kerugian. Kemudian perhitungan moneter ini dapat menjadi pendukung
kualitas lingkungan. Dan selanjutnya dapat membandingkan dalam berbagai
alternatif lainnya terutama dalam pemanfaatan dana.
III. GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI (Kawasan Ujung
Genteng)
Sebagai contoh Studi ini dapat diterapkan di kawasan Ujung Genteng yang
terletak di bagian selatan Kabupaten Sukabumi, Kecamatan Ciracap dan Kecamatan
Waluran, tepatnya saat ini yang telah dikembangkan adalah di desa Gunung Batu
dan Desa Pangumbahan. Lokasi ini
merupakan kawasan wisata yang praktis belum ditata, tetapi di lain pihak
mempunyai jenis obyek yang cukup menarik dan khas, lokasi ini mempunyai potensi
yang cukup baik dikembangkan sebagai usaha kawasan pariwisata.
Profil Wisatawan
Wisatawan Nusantara (Wisnus) yang datang ke kawasan Ujung Genteng umumnya
sebagian besar berasal dari daerah dekat kawasan wisata tersebut, yang berasal
dari luar terbanyak berasal dari Jakarta dan dari Jawa Barat yang didominasi
dari Bogor dan Bandung. Kunjungan semakin meningkat, terutama perjalanan remaja
dan keluarga. Wisatawan Mancanegara (Wisman) berasal dari beberapa negara
tetangga di benua Asia dan Australia, golongan terbesar Wisman ini adalah
berasal dari negara Australia dan Selandia Baru, serta beberapa dari Perancis,
Jerman, Brasilia, dan Belanda, hingga ada kecenderungan meningkatnya Wisman
dari Asia Timur yaitu Jepang dan Korea.
Penyu Hijau
Penyu yang sedang bertelur merupakan obyek wisata yang paling menarik di
kawasan Ujung Genteng, permasalahannya adalah waktu keluarnya penyu dari laut
sampai dengan bertelur (di pasir pantai) sampai saat ini tidak dapat
dikendalikan oleh manusia terutama pengelola kawasan. Penyu-penyu tersebut
hanya mau naik ke pantai apabila pantai dalam keadaan gelap dan sunyi, dan
biasanya hal ini terjadi pada sekitar tengah malam. Kondisi ini membuat pengelola kawasan tempat
penyu bertelur sering-sering menghalangi orang/pengunjung akan menganggu penyu
yang mau bertelur. Tampaknya pihak
pengelola maupun Pemda sendiri masih belum memberikan ketegasan, apakah penyu
di desa Pangumbahan ini siap atau tidak untuk dijadikan obyek wisata.
Penyu merupakan jenis reptilia
yang hidup di perairan laut. Selanjutnya
dari 7 (tujuh) jenis penyu di dunia 6 (enam) diantaranya terdapat di Indonesia
(Halim dan Dermawan, 1999). Keenam jenis
penyu tersebut adalah : (1) penyu sisik (Eretmochelys
imbricata), (2) penyu lekang (Lepidochelys
olivacea), (3) penyu belimbing (Dermocelys
coriacea), (4) penyu hijau (Chelonia
mydas), (5) penyu tempayan (Caretta
caretta) dan (6) penyu pipih (Natator
depresus). Dalam pandangan
internasional, semua jenis penyu dianggap langka (endengered) dalam Red Data
Book-IUCN. Binatang penyu ini memiliki sebaran yang sangat luas. dan
bermigrasi hingga ratusan bahkan ribuan kilometer dari tempat berbiaknya.
Pantai Pangumbahan Ujung Gentang Jawa Barat (Subagio, 1991) merupakan salah
satu tempat peneluran yang paling penting. Menurut Hirth, H.F (1971) sebagian
besar kehidupan penyu dihabiskan di laut
untuk mencari makan, beruaya dan kawin. Setelah tiba saatnya bertelur penyu
betina akan mencari pantai berpasir untuk bertelur. Halliday et.al. (1986)
menyatakan bahwa daerah peneluran penyu ini biasanya tidak jauh dari perairan
laut yang menyediakan rumput laut. Rata-rata penyu hijau bertelur sebanyak 106
butir setiap kali mendarat ke pantai (Sub Balai KSDA Jatim II. 1990). Secara
alami telur yang ditinggalkan induk penyu dalam gundukan pasir pantai akan
menetas. Oleh Nuitja, N.S (1981) dilaporkan bahwa prosentase penetasan telur
penyu ± 90 %. Setelah menjadi anakan (tukik) maka secara naluriah akan pergi ke
arah laut. Mula-mula sesaat tukik akan berada di perairan laut dekat pantai
kemudian berkelana ke laut lepas. Perjalanan tukik di laut tidak diketahui
lagi. Para ahli menyebut sebagai "tahun yang hilang" (Carr, A. 1967;
Frick. 1976 dalam Carr,A. 1980).
Ancaman terhadap telur penyu adalah pemungutan telur di lokasi peneluran
dan pemangsaan predator seperti biawak, babi hutan, macan tutul, elang, ikan
besar pada tingkat telur hingga anakan (tukik)
(Triwibowo. 1990). Hanya 1 s/d 3 % anakan yang mampu mencapai tingkat
dewasa (Enrenfeld, D.W. 1974). Tingkat kematian anakan penyu menuju dewasa
sangat tinggi, diasumsikan hanya sebutir sampai dengan tiga butir telur yang
bertahan hidup dari 100 butir yang dihasilkan seekor induk penyu. Sedangkan
ancaman yang paling utama adalah penangkapan oleh manusia. Penangkapan baik
yang disengaja maupun yang tidak dapat mengancam kelangsungan populasi penyu
(Sumardja,E. 1991). Pemerintah Indonesia telah menetapkan perlindungan terhadap
populasi penyu melalui : Surat Keputusan Menteri Kehutanan, antara lain: No.
327/Kpts/um/5/1978 untuk penyu belimbing (Dermochelys
coriacea); No. 716/Kpts/um/10/1980 untuk penyu lekang (Lepidochelys olivea) dan penyu tempayan (Caretta caretta) ; No. 882/Kpts-II/1992
untuk penyu sisik (Eretmochelys imbricata)
dan Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1999 untuk penyu hijau. Dalam rangka usaha
pelestarian penyu pemerintah mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai
organisasi internasional seperti World Wildlife Fund for Nature (WWF), Food
Agriculture Organization (FAO) dan Japan Bekko Association (JBA). Secara
umum penyu dalam kehidupannya memerlukan berbagai habitat sesuai kebutuhan,
yaitu habitat untuk mencari makan (feeding ground), habitat untuk melangsungkan
perkawinan (meeting area), habitat untuk beristirahat (resting area) dan
habitat untuk bertelur (nesting area).
Obyek wisata penyu hingga saat ini masih belum dirancang untuk dijadikan
sebagai obyek wisata. Bahkan menurut
surat dari Gubernur Jawa Barat Nomor 523/4661/Perek, perihal Ijin Pengelolaan
Persarangan Penyu di Pangumbahan, ijin ini diberikan kepada CV. Daya Bakti di
Sukabumi, dengan demikian pengembangan penyu di Pangumbahan lebih ditekankan
untuk fungsi penelitian dan pengembangan teknologi konservasi penyu.
Diving dan Terumbu Karang
Pada dasarnya Indonesia umumnya memiliki kekayaan bahari yang berlimpah,
yang mencakup kehidupan sekitar 28 ribu species flora, 350 species fauna, 110
ribu species mikroba, serta sekitar 600 species terumbu karang. Keanekaragaman terumbu karang di Indonesia
mencapai 600 species dari 400 genera, jauh lebih kaya dari yang dikandung Laut
Merah yang hanya memiliki 40 species dari 7 genera. Demikian juga potensi yang dimiliki kawasan
Ujung Genteng ini, tentunya termasuk salah satu dari daerah kaya di lautan
Indonesia yang diindikasikan adanya ekosistem alami yang memungkinkan penyu
untuk bertelur. Terumbu karang
(coral reefs) merupakan masyarakat
organisme yang hidup di dasar laut daerah tropis dan dibangun oleh biota laut
penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang dan alge penghasil kapur (CaCO3)
dan merupakan ekosistem yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. (Saptarini et. al, 1995; Dawes 1981 dalam
Supriharyono, 2000). Ekosistem ini sangat rentan terhadap perusakan dan pencemaran,
demikian juga di Ujung Genteng.
Ekosistem lainnya
Yang terdapat di lokasi adalah : (1) Ekosistem Estuaria = perairan yang
semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan
salinitas yang tinggi dapat bercampur dengan air tawar (Saptarini et. al, 1995), (2) Ekosistem Mangrove = disebut sebagai hutan
bakau, hutan payau atau hutan pasang surut, merupakan suatu ekosistem peralihan
antara darat dan laut (Anonim, 1997), (3) Ekosistem Padang Lamun (seagrass beds) = merupakan salah satu
ekosistem yang terletak di daerah pesisir atau perairan laut dangkal
(Supriharyono, 2000), (4) Ekosistem
Rawa Pasang Surut = lahan pantai merupakan bagian dari dataran pantai (coastal plain) yang berupa daerah
peralihan dengan perairan laut, yang biasanya disebut pesisir. Dalam sistem landform dataran pantai mencakup
bagian dari grup aluvial, marin, fluvio marin, gambut dan eolin (Marsudi et al., 1994). Lahan rawa di daerah
pesisir umumnya berupa lahan rawa pasang surut. (Widjaja Adhi, et al., 1992 dan Nugroho, et al., 1993).
Berbagai Jenis Pariwisata Lainnya
Diantaranya adalah potensi yang besar telah diusahakan di lokasi ini
seperti di dalam bidang outward bond, Lintasan Olah Raga dan Sepeda Motor,
Memancing (Fishing), Pertanian, Taman Laut, Hutan Wisata, dan tersedianya
berbagai jenis Cindera Mata Khas daerah sekitar, selain itu, masih banyak pula
potensi pariwisata lainnya yang belum dikembangkan disini, yang mungkin dapat
terkemuka apabila telah ada riset yang komprehensif tentang hal tersebut.
Transportasi
Terminal bus terdekat dari Ujung Genteng adalah di Surade. Dari Surade ini tersedia bus dengan frekuensi
yang cukup baik menuju kota Sukabumi yang berjarak tempuh 127 km maupun ke kota
Bogor yang berjarak tempuh 170 km, sedangkan dari kota Jakarta menuju Surade
akan menempuh perjalanan sejauh 230 km.
Kemudian jarak dari Surade ke desa Gunung Batu kawasan pantai wisata
Ujung Genteng adalah 18 km dengan kondisi jalan aspal hotmix dan perintis,
sedangkan untuk mencapai desa Pangumbahan kawasan penangkaran penyu berjarak
tempuh 6 km dengan kondisi jalan tanah bergelombang yang hanya dapat dilalui
pada saat musim kemarau saja oleh kendaraan bermotor khususnya mobil. Walaupun
tersedia terbatas (sehari 3 kali).
Dengan kata lain, fasilitas sampai dengan Ujung Genteng dapat dikatakan
layak. Yang masih banyak dipersoalkan
oleh pengunjung, terutama pengunjung yang menginap, adalah sarana transport
lokalnya yang dipandang kurang. Kondisi
jalan dari pusat penginapan menuju pusat keramaian Ujung Genteng (pelabuhan)
serta menuju desa Pangumbahan dan Ombak Tujuh yang masih berbentuk jalan tanah
bergelombang tersebut. Angkutan umum
yang tersedia di lokasi adalah jenis ojek yang umumnya mangkal di tempat-tempat
penginapan. Inipun jumlahnya masih
relatif terbatas, terutama pada malam hari. Disamping dapat mengurangi
mobilitas pengunjung, kondisi transportasi lokal ini (ojek) juga membuat biaya
transport lokal relatif tinggi.
Hiburan, Penginapan dan Rumah Makan
Kuranganya fasilitas hiburan di lokasi terutama pada malam hari, belum
ada pengusaha yang membuka bisnis hiburan, karena disamping jumlah
pengunjungnya masih relatif sedikit kemungkinan juga karena belum lama masuknya
aliran listrik, bisnis hiburan yang biasanya akan muncul di pusat-pusat hiburan
malam adalah seperti diskotek, karaoke, café dan sebagainya.
Sebagian besar penginapan (Ada sekitar 17 penginapan) di sekitar Ujung
Genteng yang biasa dipakai pengunjung umum.
Pada umumnya kualitas relatif sederhana, yaitu berdinding kayu atau
bambu, kamar mandi diluar dan tanpa AC.
Namun demikian ada sebagian kecil lainnya yang cukup berkualitas dan
dilengkapi AC, TV, kamar di dalam dan air panas. Alternatif penginapan lainnya
adalah di rumah-rumah penduduk/nelayan dengan kenyaman yang kurang, kamar yang pengap,
panas dan kotor.
Fasilitas rumah makan di kawasan Ujung Genteng dipandang kurang dari segi
kuantitas maupun kualitasnya (baik dari segi pilihan jenis makanannya,
kebersihan makanan maupun kerapihan tempatnya). Dalam pengadaan bahan makanan
masih dihadapi banyak kendala, misalnya jarangnya rumah makan sea food walaupun
di lokasi tersebut merupakan tempat pendaratan nelayan yang besar, jarangnya
bahan sayuran yang harus didatangkan dari Surade (berjarak 20 km) ataupun jenis
bahan makanan lainnya yang didapatkan dari Sukabumi (berjarak tempuh 10 jam
perjalanan pulang pergi).
IV.
METODE TRAVEL COST UNTUK VALUASI EKONOMI KAWASAN
EKOWISATA PESISIR
Untuk
mengelola sumber daya alam Kawasan Ekowisata Ujung Genteng yang dapat ditinjau
sebagai barang publik, yang mempunyai berbagai daya tarik (attractions) alami. Maka perlu dilakukan dengan terencana karena
pengembangan kawasan rekreasi dapat memicu tumbuhnya dampak positif dan
negatif, baik terhadap ekonomi dan sosial budaya maupun kelestarian sumberdaya.
Hufsmid (1987) menyatakan bahwa semua manfaat yang diperoleh dari barang dan
jasa lingkungan dapat dimasukan dalam analisis biaya-manfaat karena kerusakan
yang ditimbulkan oleh kegiatan ekonomi adalah biaya daripada aktifitas itu
sendiri.
Cost – Benefit Analysis Bagi Kegiatan
Ekowisata
Pada umumnya Cost - Benefit Analysis atau yang sering disebut dengan Metode Analisis
Biaya Manfaat merupakan alat yang digunakan untuk menyusun kebijakan dimana
para pengambil keputusan dapat memilih berbagai alternatif yang saling
bersaing. Dalam bidang pariwisata, diawali dari riset Cleverdon (1979),
Stough and Feldman (1982) yang diperkuat oleh Pearce (1989) riset mengenai
pariwisata wilayah bukan hanya akan memberikan beberapa hasil segera seperti
perluasan lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan dan sarana untuk wilayah,
namun juga sering membawa dampak negatif. Hasil riset tersebut diperkuat oleh
Forsyth and Dwyer (1991) yang menyajikan pengembangan wilayah pariwisata akan
mengakibatkan dampak jangka pendek dan jangka panjang lainnya, secara
terperinci. Kedua metode tersebut, identik dengan riset yang sering dilakukan
untuk para perencana wilayah yaitu Cost -
Benefit Analysis. Pada awalnya alat
analisa ini hanya digunakan bagi sektor ekonomi saja, yaitu sebuah teknik untuk
mengukur kelayakan program investasi dan pembiayaannya, sebagai dasar penentuan
keputusan bagi organisasi pariwisata yang komersial. Namun tidak semua analisa Cost and Benefit adalah merupakan
analisa kuantitatif, selain variabel ekonomi, analisa ini juga melibatkan
faktor dampak sosial and environmental
lainnya (Witt & Moutinho, 1995), pendapat tersebut diperkuat oleh Bull
(1995) yang merangkum pendapat hasil riset dari Murphy (1985) dan Bryden
(1973).
Penggunaan
Perhitungan Moneter
Metode Cost - Benefit
Analysis (Metode Analisis Biaya
Manfaat) ini merupakan salah satu penerapan ekonomi kesejahteraan modern.
Djajadiningrat (2001) menegaskan mengapa pentingnya perhitungan moneter untuk
keuntungan dan kerugian lingkungan, yaitu: 1) Dapat mengetahui dan mengartikan
‘moneterisasi’ keinginan individu membayar untuk kepentingan lingkungan,
miasalnya keinginan untuk membayar bukan hanya pelestarian dan perbaikan saja,
namun juga untuk menerima kompensasi dari kerugian. 2) Perhitungan moneter ini
dapat menjadi pendukung untuk pemihakan terhadap kualitas lingkungan. 3)
Komparatif dalam bentuk moneter untuk dibandingkan dengan alternatif lainnya
dalam pemanfaatan dana.
Valuasi
Ekonomi pada Ekowisata Pesisir
Valuasi ekonomi khususnya pada obyek ekowisata
pesisir dapat diinpretasikan dari pengertian-pengertian berikut ini: 1). Nilai (value) adalah merupakan persepsi seseorang; yaitu harga yang
diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada suatu tempat dan waktu tertentu.
Kegunaan, kepuasaan dan kesenangan merupakan istilah-istilah lain yang diterima
dan berkonotasi nilai atau harga. Ukuran harga ditentukan oleh waktu, barang,
atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki atau menggunakan
barang atau jasa yang diinginkannya. 2).
Penilaian (valuasi) adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep
dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa (Davis dan Johnson, 1987).
Terhadap penggunaan sumberdaya alam dan
lingkungan valuasi ekonomi hingga saat ini telah banyak dipergunakan oleh
barbagai atraksi pariwisata. Demikian pula perhitungan-perhitungan tentang
biaya lingkungan sudah cukup banyak berkembang. Menurut Hufscmidt, et al.,
(1992), secara garis besar metode penilaian manfaat ekonomi (biaya lingkungan)
suatu sumberdaya alam dan lingkungan pada dasarnya dapat dibagi ke dalam dua
kelompok besar, yaitu berdasarkan pendekatan yang 1) berorientasi pasar {
terdiri dari : Penilaian manfaat menggunakan harga pasar aktual barang dan jasa
(actual based market methods),
Penilaian biaya dengan menggunakan harga pasar aktual terhadap masukan berupa
perlindungan lingkungan, dan Penggunaan metode pasar pengganti (surrogate market based methods) }, dan
2) pendekatan yang berorientasi survey atau penilaian hipotesis { terdiri dari
: Pertanyaan langsung terhadap kemauan membayar (Willingness To Pay), dan
Pertanyaan langsung terhadap kemauan dibayar (Willingness To Accept)
}
Willingness To Pay
Menurut Munasinghe (1993) Konsep dasar dalam
penilaian ekonomi yang mendasari semua teknik adalah kesediaan membayar dari
individu untuk jasa-jasa lingkungan atau sumberdaya. Sehingga teknik penilaian
manfaat tersebut, didasarkan pada kesediaan konsumen membayar perbaikan atau
kesediaan menerima kompensasi dengan adanya kemunduran kualitas lingkungan
dalam sistem alami serta kualitas lingkungan sekitar (Hufschmidt et al., 1987). Lebih lanjut Pearce dan
Moran (1994) menyebutkan tentang kesediaan membayar atau kesediaan menerima
merefleksikan preferensi individu, kesediaan membayar dan kesediaan menerima
adalah ‘bahan mentah’ dalam penilaian ekonomi.
Sehingga Willingness
To Pay menjadi salah satu dari berbagai macam teknik penilaian dapat
digunakan untuk mengkuantifikasikan konsep dari nilai. Secara ringkas, dapat
digambarkan kesediaan membayar dari rumah tangga ke i untuk perubahan dari
kondisi lingkungan awal (Qo) menjadi kondisi lingkungan yang lebih baik (Q1) dapat disajikan dalam
bentuk fungsi, yaitu :
WTPi = f(Q1 – Qo, Pown,i, Psub,i, Si, )
Keterangan :
WTPi = Kesediaan
membayar dari rumah tangga ke i
Pown = Harga
dari penggunaan sumberdaya lingkungan
Psub,i, = Harga subtitusi untuk penggunan
sumberdaya Lingk.
Si, = Karakteristik sosial ekonomi
rumah tangga ke i
Surplus Konsumen
kesediaan membayar berada di area di bawah kurva
permintaan (Munangsihe, 1993). Yaitu dengan mengurangkan biaya suatu barang
bagi konsumen (O P2 E Q2) dari total kurva permintaan,
nilai surplus konsumen ditunjukan sebagai bidang segitiga P1 E P2
(Samuelson dan Nordhaus, 1990) dan merupakan ukuran kemauan membayar di atas
pengeluaran kas untuk konsumsi (Hufschmidt et
al., 1987). Surplus konsumen merupakan perbedaan antara jumlah yang
dibayarkan oleh pembeli untuk suatu produk dan kesediaan untuk membayar
(Samuelson dan Nordhaus, 1990; Pomeroy, 1992).
Konsep
Pengukuran Nilai Ekonomi Sumberdaya
Nilai dapat terjadi setelah adanya interaksi
antara manusia sebagai subjek (penilai) dan obyek yang dinilai (Pearce dan
Moran, 1994; Turner, Pearce dan Bateman, 1994). Setiap individu memiliki
sejumlah nilai yang dikatakan sebagai nilai penguasaan (held value) yang merupakan basis preferensi individu. Pada akhirnya nilai obyek ditentukan oleh
bermacam-macam nilai yang dinyatakan (assigned
value) oleh individu (Pearce dan Turner, 1990), yaitu :
TEV = UV + NUV atau TEV = (DUV + IUV + BV) + (XV
+ BV)
Nilai ekonomi atau total nilai ekonomi suatu
sumberdaya secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu nilai
penggunaan (use value) dan nilai
intrinsik (non use value) (Pearce dan
Turner, 1990; Pearce dan Moran, 1994; Turner, Pearce dan Bateman, 1994).
Selanjutnya dijelaskan bahwa nilai penggunaan (use value) dibagi lagi menjadi nilai penggunaan langsung (direct use value), nilai penggunaan
tidak langsung (indirect use value)
dan nilai pilihan (option value),
sedangkan nilai intrisik (non use value) terdiri atas nilai keberadaan (existence
value) dan nilai warisan (bequest value)
Metode
Pendugaan Nilai Ekonomi
Untuk menentukan faktor-faktor sosial ekonomi
yang berpengaruh terhadap permintaan produk dan produk dari jasa lingkungan
rekreasi ekowisata pesisir digunakan analisis linier berganda. Model yang
digunakan adalah model logaritma, sebab koefisien regresi dari model log
merupakan nilai elastitas, dan elastisitasnya bersifat konstan. Di sisi lain
pentransformasian ke dalam bentuk logaritma adalah untuk mengurangi situasi
heteroskedastisitas (Gujarati, 1988; Arief, 1993).
1)
menghitung intersep baru (b’) dari fungsi permintaan, cara perhitungannya
adalah :
Ln Q = bo + b1 Ln X1 + b2 (Ln X2i ) + ….. bn (Ln Xn)
Ln Q = (
(bo + b2 (Ln X2 ) ) + ….. bn (Ln Xn) + b1 Ln X1
Ln Q = b’ + b1 Ln X1
2) mengembalikan persamaan tersebut di atas ke
fungsi asal, dan kemudian mentransformasikan fungsi asal, dimana persamaan
berubah menjadi peubah tak bebas X1 dan peubah bebas Q.
Cara menduga utiliti atau kesediaan membayar
dengan menggunakan persamaan matematik menurut McKenzie (1983), adalah :
a
U = f(q)
dQ
0
keterangan :
U = Utiliti (kesediaan membayar)
f(Q) = Fungsi permintaan
a = Jumlah produk yang dikonsumsi
Lebih lanjut lagi, McKenzie (1983) memberikan
batas atas dari integral adalah jumlah barang yang dikonsumsi, sedangkan
Darusman (1993), memberikan batas atas adalah rata-rata jumlah barang yang
dikonsumsi. Sedangkan, Turner, Pearce dan Bateman (1994) menyatakan bahwa total
kesediaan membayar sama dengan total harga yang dibayar ditambah total surplus
konsumen. Perhitungan total nilai ekonomi, surplus ekonomi dan harga yang
dibayarkan dari setiap produk dilakukan dengan menggandakan produk atau produk
dari jasa lingkungan yang dihasilkan.
Nilai
Ekonomi Rekreasi Ekowisata Pesisir
Nilai ekonomi rekreasi dapat diduga dengan
menggunakan metode biaya perjalanan wisata (travel
cost method), yang meliputi biaya transport pulang pergi dari tempat
tinggalnya ke lokasi kawasan Ekowisata Pesisir Ujung Genteng dan pengeluaran
lain selama di perjalanan dan di dalam kawasan tersebut (mencakup dokumentasi,
konsumsi, parkir, karcis masuk, dll).
Menurut Bahruni (1993) untuk mengetahui kurva
permintaan, dibuat model permintaan yang merupakan hubungan antara jumlah
kunjungan per seribu penduduk daerah asal (zona) pengunjung dengan biaya
perjalanan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam menentukan fungsi permintaan
tersebut :
1. menentukan
jumlah kunjungan
2.
menduga
distrubusi (persentase) daerah asal pengunjung berdasarkan sensus pengunjung di
pintu masuk
3. menentukan jumlah kunjungan per tahun dari
daerah tertentu.
4. menentukan
jumlah kunjungan dari daerah tertentu per 1000 penduduk
5. menentukan biaya perjalanan rata-rata dari
daerah tertentu, yang ditentukan berdasarkan biaya perjalanan responden
6. menentukan
nilai ekonomi dengan kunjungan per 1000 penduduk sebagai Y dan biaya perjalanan
wisata sebagai X.
V.
PEMBAHASAN PENGGUNAAN METODE TRAVEL COST
Pembatasan
Pembahasan Studi
Berikut ini disajikan sebuah contoh ilustrasi
studi tentang perhitungan dan valuasi ekonomi dengan menggunakan metode travel
cost, terhadap kawasan obyek ekowisata pesisir Ujung Genteng Kabupaten
Sukabumi. Studi ini dieksplorasi terutama dari data skunder sehingga perlu
disebutkan berbagai pembatasan-pembatasan yang disebabkan keterbatasan waktu,
responden, tenaga, data dll, sehingga studi ini dibatasi:
°
Berbagai
macam data yang muncul adalah data skunder yang didapatkan dari petugas
pengelola kawasan.
°
Contoh
perhitungan merupakan gabungan dari berbagai contoh studi yang terdahulu
dilaksanakan diberbagai jenis, lokasi dan obyek pariwisata lainnya,
°
Responden
yang diilustrasikan hanya dibatasi pada para pengunjung lokal (sekitar
Kabupaten Sukabumi) saja, yang merupakan pengunjung terbanyak ke lokasi
ekowisata pesisir tersebut,
Waktu, Cara dan Tempat Penelitian
Lokasi
penelitian ini akan bertempat di kawasan wisata pesisir Ujung Genteng Kecamatan
Ciracap dan Waluran, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, luas jangkauan penelitian
pada wilayah pesisir ini diperkirakan sepanjang 176 km garis pantai, dengan
demikian bagian inti dari obyek penelitian sedikitnya akan mencakup 12 km
kearah laut dari batas PTR (pasut tinggi rata-rata) dan 2 km ke arah darat dari
batas PTR, atau luas daerah penelitian akan mencakup ± 2.464 km2 dan dapat
berkembang disesuaikan dengan luas cakupan dua kecamatan, isu pengelolaan,
sumber daya dan lingkungan.
Pengamatan pada para pengunjung obyek ekowisata
pesisir tersebut yang diamati adalah pengunjung yang memasuki kawasan Ujung
Genteng terutama pada para pengunjung lokal (sekitar kabupaten Sukabumi), yang
melalui pintu gerbang obyek ekowisata yang terletak di Kecamatan Ciracap.
Pendataan pengunjung dilaksanakan pada April s/d Juni 2002.
Karakteristik
Pengunjung Lokal
Pengamatan yang pertama dilakukan terhadap 792
orang responden pengunjung pada obyek ekowisata pesisir kawasan Ujung Genteng,
sehingga didapatkan bahwa karakteristik asal pengunjung di kawasan ekowisata
pesisir tersebut :
Pengamatan kemudian dikhususkan terhadap 484
orang responden pengunjung lokal (dari Kabupaten Sukabumi dan sekitarnya),
sehingga diketahui karakteristik usia pengunjung tersebut dapat dilihat dari
diagram yang disajikan berikut :
Karakteristik responden berikutnya yang perlu
diketahui adalah tentang jenis pekerjaan pengunjung, adapun gambaran ringkas
tentang karakteristik jenis pekerjaan pengunjung tersebut dapat dilihat dari
diagram yang disajikan berikut :
Menghitung
Travel Cost
Dalam menentukan nilai ekonomi pariwisata dapat
didasarkan pada pendekatan biaya perjalanan wisata (travel cost) yaitu, jumlah uang yang dihabiskan selama melakukan
kunjungan wisata obyek ekowisata pesisir Kawasan Ujung Genteng Sukabumi. Biaya
tersebut meliputi biaya transportasi pulang pergi, biaya konsumsi, biaya
dokumentasi, dan lain-lain (termasuk karcis masuk).
Menurut Harianto (1994) biaya perjalanan wisata
dapat didasarkan pada biaya-biaya yang sangat ditentukan oleh biaya
masing-masing pengunjung dari masing-masing daerah asal pengunjung karena
besarnya masing-masing bagian berbeda-beda. Sehingga klasifikasi pengunjung
didasarkan pada wilayah asal dan biaya perjalanan wisata pengunjung tersebut
pada daerah obyek ekowisata pesisir Kawasan Ujung Genteng Sukabumi, pada
pengamatan terhadap pengunjung yang merupakan wisatawan lokal, maka
penggolongan wilayah dapat dibagi menjadi 13 daerah asal, yaitu dari berbagai
daerah dan Kecamatan di sekitar Kabupaten Sukabumi, yang dibagi menjadi wilayah-wilayah
Surade, Lengkong, Nyalindung, Jampang Tengah, Pelabuhan Ratu, Cikembar,
Cibadak, Baros, Cisaat, Sukabumi, Parung Kuda, Lido, dan Jampang Kulon.
Langkah berikutnya adalah menghitung data-data
dan mempersiapkan tabel berikut ini :
|
|
Z1
|
X4
|
Y
|
X2
|
Z2
|
Z3
|
X1
|
X3
|
X5
|
X6
|
X7
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
|
Surade
Jampang Kulon
Nyalindung
Lengkong
Pelabuhan Ratu
Jampang Tengah
Cibadak
Baros
Cisaat
Sukabumi
Cikembar
Parung Kuda
Cicurug
|
20
66
74
94
40
24
46
38
20
22
14
14
12
|
29.622
83.686
154.514
117.272
166.310
142.634
162.042
228.888
152.456
335.402
292.178
62.054
90.706
|
0,6752
0,7887
0,4789
0,8015
0,2405
0,1683
0,2839
0,1660
0,1312
0,0656
0,0479
0,2256
0,1323
|
733,34
2.778,40
5.000,00
4.677,00
5.858,40
5.710,00
7.908,40
5.996,40
6.571,40
8.349,40
7.122,40
8.133,40
18.174,00
|
3.666,00
6.794,00
4.000,00
5.538,00
4.312,00
8.160,00
4.216,00
6.208,00
4.476,00
3.534,00
5.544,00
3.000,00
9.400,00
|
1.250,00
1.789,40
750,00
6.538,00
1.832,00
2.300,00
2.834,00
5.210,00
3.700,00
1.777,80
1.500,00
2.278,00
1.500,00
|
5.650,00
11.360,00
9.750,00
16.754,00
12.002,00
16.170,00
14.956,00
17.414,00
14.748,00
13.660,00
14.166,00
12.300,00
53.668,00
|
191.666
460.526
262.500
484.614
575.000
460.000
591.666
454.736
478.572
633.334
500.000
500.000
460.000
|
12
13
12
13
14
16
17
14
16
18
14
14
14
|
19,00
40,00
22,50
39,70
43,00
39,60
42,00
40,40
37,70
50,70
45,00
40,00
38,00
|
19,80
4,62
13,20
6,60
3,19
13,40
5,06
3,30
6,93
3,08
4,73
3,63
2,08
|
Apabila data-data tersebut dimasukan ke rumus
berikut Ln Qi = bo + b1 Ln X1i + b2 Ln X2i + ….. bn Ln Xni + mi dan diketahui bahwa pengelompokan peubah-peubah
nya adalah :
Y = Jumlah Kunjungan per 1000
penduduk (orang)
X1 = Biaya Perjalanan
(transportasi, konsumsi, karcis, dll)
X2 = Biaya Transportasi (Rp)
X3 = Pendapatan/uang saku per bulan
(Rp)
X4 = Jumlah Penduduk Potensial dari
Kecamatan asal Pengunjung (orang)
X5 = Pendidikan (tahun)
X6 = Waktu kerja per minggu (jam)
X7 = Waktu luang per minggu (jam)
Z1 = Jumlah kunjungan per minggu (orang)
Z2 = Biaya Konsumsi (Rp)
Z3 = Biaya lain-lain (Rp)
Maka hasil regreasi berganda antara jumlah
kunjungan per seribu penduduk (Y) dengan variabel-variabel bebas (X1-X7)
diperkirakan akan menghasilkan model permintaan berikut ini: Y = 13,1 – 0,000240X1 – 0,000036 X4 – 0,926
X5 + 0,124 X6. Dengan P = 0,005 dan koefisien determinasi 81,1%. Selain
variabel biaya perjalanan, ternyata variabel yang mempengaruhi jumlah kunjungan
adalah jumlah penduduk (X4), pendidikan (X5) dan waktu kerja (X6).
Apabila nilai ekonomi wisata dengan model
tersebut dilakukan dengan menganggap variabel lain tetap (dalam hal ini
digunakan nilai rata-rata), maka penggunaan nilai rata-rata untuk variabel lain
berpengaruh terhadap intersep sehingga persamaan menjadi Y = 3,9342 – 0,00024 X1. Selanjutnya persmaan diinversi menjadi X1 = 16.392,5 – 4.166,67 Y. penghitungan
nilai ekonomi (rata-rata kesediaan berkorban, nilai yang dikorbankan, dan
surplus konsumen) dilakukan dengan mengintegralkan persamaan hasil inversi
dengan batas bawah pada saat Y = 0 dan batas atas Y rata-rata. Berdasarkan
hasil perhitungan diperoleh rata-rata kesediaan berkorban adalah Rp. 50.641,12
per 1000 penduduk, nilai yang dikorbankan adalah Rp. 32.108,69 per 1000
penduduk, dan surplus konsumen adalah Rp 18.550,43 per 1000 penduduk.
Kemudian untuk menghitung total kesediaan
berkorban, nilai yang dikorbankan dan surplus konsumen wisatawan yang
berkunjung ke obyek ekowisata pesisir kawasan Ujung Genteng Sukabumi dilakukan
dengan mengkonversi nilai tersebut dengan total jumlah penduduk yang potensial
untuk berwisata di seluruh daerah asal pengunjung dengan formula berikut :
Nilai rata-rata x
Jumlah Penduduk
Total Nilai =
---------------------------------------------
1000
Diketahui bahwa jumlah penduduk yang potensial
untuk berwisata dari seluruh daerah asal pengunjung adalah 2.017.746 orang.
Ringkasan hasil perhitungan total nilai kesediaan berkorban, yang dikorbankan
dan surplus konsumen wisata disajikan sebagai berikut:
Tabel Hasil Perhitungan Kesediaan Untuk
Berkorban, Nilai yang Dikorbankan dan Surplus Konsumen pada obyek ekowisata
pesisir kawasan Ujung Genteng Sukabumi
Nilai Ekonomi
|
Rata-rata Rp /1000 /tahun
|
Penduduk Potensial
|
Jumlah Rp /tahun
|
Kesediaan Brkorban
Nilai yg Dikorbankan
Surplus Konsumen
|
50.641,12
32.108,69
18.550,43
|
2.017.746
2.017.746
2.017.746
|
102.180.917
64.787.181
37.430.056
|
Dari tabel tersebut nilai yang diperoleh oleh
seluruh masyarakat berdasarkan hasil analisis kurva permintaan pada saat biaya
perjalanan rata-rata (Rp. 14.462). pada saat biaya kunjungan wisata rata-rata,
jumlah pengunjung diduga mencapai 4.436 orang. Apabila dugaan nilai ekonomi
tersebut dibagi dengan jumlah dugaan jumlah pengunjung (4.436 orang) maka
diperoleh rata-rata nilai kesediaan berkorban sebesar Rp. 23.034 per kunjungan,
nilai yang dikorbankan sebesar Rp. 14.605 per kunjungan dan surplus konsumen
sebesar Rp. 8.429 per kunjungan.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dengan Metode Travel Cost diharapkan dapat
diketahui keinginan individu untuk membayar bagi kepentingan lingkungan,
pelestarian dan perbaikan saja, dan kompensasi dari kerugian. Kemudian
perhitungan moneter ini dapat menjadi pendukung kualitas lingkungan. Dan
selanjutnya dapat membandingkan dalam berbagai alternatif lainnya terutama
dalam pemanfaatan dana.
Dari contoh hasil perhitungan diperoleh rata-rata
kesediaan berkorban adalah Rp. 50.641,12 per 1000 penduduk atau sebesar Rp.
23.034 per kunjungan, nilai yang dikorbankan adalah Rp. 32.108,69 per 1000
penduduk atau sebesar Rp. 14.605 per kunjungan, dan surplus konsumen adalah Rp
18.550,43 per 1000 penduduk atau sebesar Rp. 8.429 per kunjungan, pada obyek
ekowisata pesisir Kawasan Ujung Genteng kabupaten Sukabumi.
Rekomendasi
dan Saran
Dalam
strategi pengelolaan ekowisata pesisir dan bahari di Indonesia (khususnya obyek
studi kawasan Ujung Genteng) yang memiliki potensi besar namun sekaligus
sensitif (fragile/vulnerable)
terhadap dampak-dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata,
maka dari studi itu, setelah mempertimbangkan perangkat analisa Cost-Benefit Analysis, Economic Valuation,
Travel Cost Method dan penghitungan
Willingness to Pay. Studi ini merekomendasikan langkah-langkah
mengembangkan manfaat dari sumberdaya ekowisata secara berkelanjutan dan
terintegrasi dengan menggunakan Sustainable
Coastal Ecotourism Land Resources Management, diharapkan dengan menggunakan
metode tersebut dapat mengembangkan ekowisata pesisir dan bahari Indonesia
secara internasional dengan mengutamakan kelestarian dan keberkelanjutan
pembangunan, sehingga daya tarik alami ekowisata pesisir khususnya pada obyek ekowisata pesisir Kawasan Ujung
Genteng kabupaten Sukabumi akan selalu terjaga yang merupakan modal
utama obyek wisata yang unggul.
DAFTAR
PUSTAKA
Albertson M.L. 1999. The Village Earth Model for
Sustainable Village Development. Colorado State University. Colorado
Anonimous, 1997. Ensiklopedi Kehutanan Indonesia.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan RI. Jakarta
Baldwin P. and Brodess D. 1993. Asia’s New Age
Travelers. Asia Travel Trade.
Bengen D.G., 2001. Sinopsis Ekosistem Sumberdaya
Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor. 62 p.
Bryden J. 1973. Tourism and Development: a Case
Study of the Commonwealth Carribean, Cambridge University Press, Cambridge.
Bull A. (1995). The Economics of Travel and Tourism.
Longman. Sydney.
Boo. 1992. The Eco-tourism Boom. WHN Technical
Paper. WWF. Washington.
Brandon. K. 1996. Eco-tourism and Conservation. The
World bank Environment Department
Cater E. and Lowman. 1994. Eco-tourism: A sustainable
Option. Whiley. London
Carr, A.1980. Some Problems of Sea Turtle Ecology.
Amer.Zool.
Clark, L.H. 1997. Penelitian dan Pengelolaan Penyu
di Malaysia. Makalah Seminar Penelitian dan Pengelolaan Penyu di Indonesia.
Jember. Indonesia.
Choy et. Al. 1997. Eco-tourism Planning: Lessons
from South East Queensland Experience. Planning Sustainable Tourism. ITB.
Bandung
Dahuri, R., et al. 1995. Studi Pengembangan
Kebijaksanaan Ekonomi Lingkungan. PPLH IPB dan Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup.
Enrenfeld, D.W. 1974. Conservasing The Edible Sea
Turtle. Can Marineculture help?. America Scientific Journal.
Faulkner B. 1997. Tourism development in Indonesia:
The “Big Picture” Perspective. Planning Sustainable Tourism. ITB. Bandung
Goodwin H. 1997. Terestrial Ecotorism. Planning
Sustainable Tourism. ITB. Bandung
Gunn C.A, 1994. Tourism Planning. Basics, Concepts,
Cases. Third Edition. Taylor & Francis Publisher.
Gujarat, D.
1988. Ekonometrika Dasar. Terjemahan. PT. Erlangga. Jakarta
Hufschmidt, M.
M., et al. 1987. Lingkungan Sistem
Alami dan Pembangunan. Terjemahan. UGM Press
Halim dan Dermawan, 1999. Marine Turtle Research,
Management and Conservation in Indonesia. Report of The Seafdec – Asean
Regional Workshop on Sea Turtle Conservation and Management. ISBN 983-9114-10-7
(in Malaysia)
Hudman L.E. and Donald E. 1989. Tourism Contemporary
Society. Englewood Cliffs. New Jersey
Hotta, K. and Dutton I.M. 1995.
Coastal Management in the Asia-Pasific Region : Issues and Approaches.
Japan International Marine Science and Technology Federation. Tokyo, Japan. 421
p.
Halliday et.al. 1986. Editor Encyclopaedia of
Reptiles and Insect. Equinox (Oxford) Ltd. Littlegate House. St Ebbe's Street.
Oxford.
Hirth, H.F. 1971. Synopsis of Biological Data on
Green Turtle (Chelonia mydas L.) FAO Fiesheries Synopsis. Rome.
Lascurain C. (1988). Eco-tourism. A Perspective for
Sustainable Development
Lindberg. K. 1991. Policies for Maximizing Nature
Tourism Ecological and Economic Benefit. World Resources Institute
Murphy P.E.1985.Tourism: a Community Approach.
Methuen. New York.
McKenzie, G. W.
1983. Measuring Economic Wellfare, New Methods. Cambridge University Press.
Munangsihe, M.
1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank
Environment Paper Number 2.
Nuitja, N.S. 1981. Konservasi dan Pengembangan Penyu
di Indonesia. Makalah Seminar Penelitian dan Pengelolaan Penyu di Indonesia.
Jember. Indonesia.
Pearce, D. dan
R. K Turner. 1990. Economics of Natural Resources and The Environment.
Harvester Wheatsheaf.
Pearce, D. dan
D. Moran. 1994. The Economics Value of Biodeversity.IUCN.
Pomeroy, R. S.
1992. Economic Valuation: Available Methods dalam
Chua T. E. dan L. F. Scura. Integrative Framework and Methods for Coastal
Area Management Association of Southeast Asian Nation/United States Coastal
Resources Management Project.
Supriana N. 1997. Pengembangan Wisata Alam di
Kawasan Pelestarian Alam. Planning Sustainable Tourism. ITB. Bandung
Silver C. 1997. Urban Based Eco-tourism in
Indonesia. Planning Sustainable Tourism. ITB. Bandung
Setiawan A.
2000. Nilai Ekonomi Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Propinsi Lampung. Tesis
S2. Program Pasca Sarjana
Supriharyono. 2000.
Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam dii Wilayah Pesisir
Tropis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Soeriatmadja. 1997. Prospect of Developing Marine
and Beach Tourism in Indonesia. Planning Sustainable Tourism. ITB. Bandung
Steele P. 1993. The Economics of Eco-tourism. Focus
9
Sub Balai KSDA Jatim II. 1990. Penyu Laut di
Sukamade. Jember.
Subagio. 1991. Pembahasan Strategi Nasional dan
Action Plan Konservasi dan Pengelolaan Penyu. Rencana Pengelolaan dan
Konservasi Penyu di Pantai Pangumbahan dan Sekitarnya. KLH, Departemen
Kehutanan. Jakarta.
Sumardja, E. 1991. Pembahasan Strategi Nasional and
Action Plan Konservasi dan Pengelolaan Penyu. KLH, Departemen Kehutanan,
Jakarta,
Tribe J, 1999, The Economics of Leisure and Tourism,
Butterwood-Heinemann, London
Triwibowo, E. 1991. Studi Tentang Pemanfaatan Penyu
Laut Dalam Kaitan Dengan Usaha Pelestariannya Di Daerah Tingkat II Kabupaten
Badung. Propinsi Bali. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Indonesia.
World Tourism Organization. 2000.Tourism Trends.
Madrid
Wyasa B. 2001. Meluruskan Pengertian Ekowisata.
Tamasya. Jakarta
Witt S.F. and Mountinho L. (1995). Tourism Marketing
and Management Handbook. Prentice Hall. Englewood Cliffs. New York.
Wheat S. 1994. Taming Tourism. Geography 116
Whelan. 1991. Nature Tourism :Managing the
Environment. Island Press. Washington
Ziffer K.A. 1989. Eco-tourism: The Uneasy Alliance.
Conservation International
Tidak ada komentar:
Posting Komentar